Tetap Tenang dan Waspada, Ini Gejala Gagal Ginjal Akut pada Anak yang Perlu Diketahui



KONTAN.CO.ID -  Penyakit gagal ginjal akut (GGA) pada anak di Indonesia membuat para orangtua khawatir. Meskipun demikian, Anda perlu tetap tenang dan waspada menghadapi penyakit ini.

Jumlah anak-anak yang meninggal meningkat hingga mencapai 133 orang atau sekitar 55 persen dari total kasus akibat Gangguan Ginjal Akut cukup memprihatinkan. 

Perhatian dan kepedulian banyak pihak sangat diharapkan agar kasus ini bisa cepat tertangani. 


Dr. Ika Puspitasari, dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Praktisi Farmasi Klinik RSA UGM, menyatakan kasus GGA sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Januari 2022. 

Namun pada bulan Agustus, September dan Oktober 2022 kasus penyakit ini terus mengalami peningkatan.

“Angkanya terus meningkat dan di Oktober ini cukup tinggi. Harapannya di akhir bulan ini menurun karena angka kasus cukup banyak, dan kematian di atas 50 persen," katanya dalam webinar yang diadakan oleh UGM. 

Baca Juga: Kemnaker Gelar Job Fair Nasional 2022, Ada 18.000 Lowongan Tersedia!

Anak-anak rentan terkena GGA

GGA ini menyerang anak-anak dengan usia kurang dari 1 tahun, 1- 5 tahun, 6-10 tahun dan 11-18 tahun. Jumlah kasus di bulan Agustus mencapai 36, September 78 dan di bulan Oktober 110 kasus.

Berdasar kelompok umur terbanyak memang di rentang usia 1-5 tahun sebanyak 153. Sementara anak usia  kurang dari 1 tahun sebanyak 26, usia 6-10 tahun sebanyak 37 dan usia 11-18 tahun sebanyak 25 kasus.

“Ini tentunya menjadi perhatian bersama karena di bulan Oktober sudah tinggi dan jika hanya kementerian kesehatan saja tentunya tidak bisa menangani sendiri," sebutnya, dikutip dari situs UGM.

Dr Ika menyampaikan, WHO telah menemukan 66 kematian anak di Gambia pada Oktober 2022 terkait pemakaian sirup obat kofekmalin, Makoff, dan Magrib N. 

Melihat kondisi tersebut diperlukan kewaspadaan dini karena Gangguan Ginjal Parah Akut (GGPA) berdasar derajat gejala sebanyak 61 persen memiliki derajat keparahan stadium 3. 

Kasus kematian akibat penyakit ini dilaporkan sebanyak 55 persen total dari pasien GGPA yang dirawat.

Semua pihak pun perlu bersiap karena kasus sudah dialami banyak negara. Untuk itu diperlukan strategi umum untuk keselamatan pasien diantaranya penggunaan obat dan peralatan yang aman.

“Praktik klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman. Melakukan manajemen risiko, contoh mengendalikan infeksi. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi pada pasien," ujarnya.

Dr Ika menyebutkan bahwa perlu juga melakukan pencegahan terjadinya adverse event (sistem identifikasi dan pelaporan). 

Mengurangi efek akibat adverse event dan melakukan upaya keselamatan guna mencegah kejadian memburuk yaitu melakukan pembatasan penggunaan terduga penyebab GGA yaitu penggunaan obat sirup,

“Jika GGA turun, utamanya di Gambia, negara yang juga banyak angka kejadian kasus ini maka kita bisa belajar dari sana," ungkapnya.

Baca Juga: Penderita Hipertensi Wajib Coba, Ini Cara Menurunkan Tensi Tinggi secara Alami

Gejala gangguan ginjal akut

Meski angka kasus GGA tinggi, Dr Ika berharap masyarakat untuk tidak panik dan bingung. Kepada masyarakat diharapkan kewaspadaannya dari dini. 

Deteksi dini Pra Rumah-Sakit sangat penting sehingga jika menemukan pasien dengan usia kurang 8 tahun memiliki gejala GGA bisa dibawa ke FKTP terdekat.

Gejala gagal ginjal akut yang perlu diwaspadai diantaranya seperti:

  • Demam, 
  • Gejala infeksi saluran pernafasan akut (batuk, pilek), 
  • Gejala infeksi saluran cerna (diare, muntah), 
  • Volume urine yang berkurang
“Kalau sudah jarang mengeluarkan urine atau selama 24 jam tidak mengeluarkan urin maka wajib orang tersebut dibawa ke IGD. Apalagi terjadi perburukan dan pasien tidak bisa apa-apa lagi," terangnya.

Dr Ika menandaskan masyarakat untuk tidak panik. Jika tidak yakin dengan obat-obat yang ada maka diminta untuk tidak menyebarkan ke sosial media.

 Ada baiknya untuk sementara menghindari obat-obat cair dan mencari alternatif obat non-cair.

“Ya kalau masih ragu juga. Ada baiknya masyarakat bisa konsultasi ke dokter, apoteker, perawat atau bidan," imbuhnya.

Sementara itu, dalam webinar yang yang sama, Apt. Arifianti Piskana selaku Wakil Ketua II DPD IAI Yogyakarta, menambahkan para apoteker saat ini taat akan surat edaran larangan pemakaian obat cair (sirup). 

Bahkan, mengacu edaran Kementerian Kesehatan maka di lapangan tidak lagi mendistribusikan obat sediaan sirup.

“Jadi, kita memastikan masyarakat tahu untuk sediaan sirup tidak bisa didistribusikan kepada masyarakat. Kecuali ada resep dokter," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News