KONTAN.CO.ID - BANGKOK. Perdana Menteri baru Thailand Srettha Thavisin akan membatasi penggunaan ganja hanya untuk keperluan medis. Sejak ganja dilegalkan tahun lalu di Thailand, sudah ada ribuan toko ganja berdiri di negara itu sampai saat ini. Thailand merupakan negara pertama di Asia yang melegalkan ganja. Srettha mengatakan, pemerintah akan memperbaiki kebijakan ganja mengingat saat ini semakin banyak toko-toko yang beban menjual ganja. "Undang-undang (ganja) perlus direvisi ulang. Kita bisa mengaturnya hanya untuk penggunaan medis," kata Srettha dilansir dari Bloomberg, Kamis (21/9).
Ia bilang, sudah ada kesepakatan luas di antara koalisi 11 partai yang dipimpinnya mengenai perlunya membatasi penggunaan ganja. Namun, belum jelas bagaiman persisnya pemerintah akan melanjutkan upaya pembatasan itu. Partai Pheu Thai yang dipimpun Srettha telah menggaungkan kampanye anti-narkoba secara keras menjelang pemilu Mei lalu dan berjanji untuk membatalkan kebijakan bersejarah yang mencabut kriminalisasi ganja.
Baca Juga: Mendag Zulhas Setuju Daun Kratom Menjadi Komoditas Ekspor Partai ini berkoalisi dengan Partai Bhumjaithai yang dipimpin oleh Anutin Charnvirakul, yang berjanji akan mendorong rencana untuk memperkenalkan RUU ganja di parlemen untuk pengawasan ketat terhadap industri ini, tapi menentang tanaman ganja diklasifikasikan kembali sebagai narkoba. Kekosongan regulasi yang sedang berlangsung, menyusul pencabutan ganja sebagai narkotika, telah mengarah pada merebaknya hampir 6.000 toko ganja di seluruh negeri. Mereka menjual mulai dari bongkahan ganja hingga ekstrak minyak yang mengandung kurang dari 0,2% tetrahidrokannabinol, senyawa psikoaktif yang memberi pengguna sensasi memabukkan. Petani Thailand juga diizinkan secara bebas menanam ganja setelah mendaftar ke Badan Pengawas obat dan makanan di negara itu. Pemilik apotek lokal juga mengeluhkan impor yang tidak terkendali dan harga yang tertekan.
Baca Juga: Aliasi Masyarakat Tembakau Sebut RUU Kesehatan Jadi Regulasi Diskriminatif Thailand dianggap sebagai saluran utama perdagangan narkoba di lembah sungai Mekong yang luas di Asia Tenggara, dengan lembaga penegak hukum yang kurang efektif. Ekonomi kejahatan terorganisir Asia Tenggara, termasuk perdagangan ilegal narkoba dan satwa liar, diperkirakan bernilai US$130 miliar pada tahun 2019, menurut Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Narkoba dan Kejahatan. “Masalah narkoba telah meluas akhir-akhir ini, terutama di wilayah timur laut dan utara Thailand. Dan kami tidak ingin ada masalah lain muncul selain itu.” pungkas Srettha.
Editor: Dina Hutauruk