JAKARTA. Keyakinan pelaku pasar mengenai langkah The Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan Maret ini, benar-benar terbukti. Pada pertemuan yang berakhir tadi malam (15/3), The Fed mengerek suka bunga untuk kali kedua dalam tiga bulan terakhir.The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 0,75%-1%.Bank sentral Amerika mengambil keputusan ini berdasarkan pertimbangan bahwa perekonomian AS akan tumbuh lebih pesat lagi. Selain itu, sejumlah data utama ekonomi AS lainnya juga poitif. Sebut saja data penambahan lapangan kerja yang tinggi dan keyakinan tingkat inflasi akan melaju mencapai target bank sentral.
Pimpinan The Fed Janet Yellen dalam pernyataannya kemarin menekankan keyakinannya pada pertumbuhan ekonomi AS ke depan. "Kami telah melihat kemajuan ekonomi dalam beberapa bulan terakhir sesuai dengan yang kami antisipasi. Kami memiliki kepercayaan jalur ekonomi sesuai harapan," jelas Yellen. Para petinggi The Fed mencatat bahwa tingkat inflasi saat ini 'kian mendekati' target bank sentral di level 2%. Di sisi lain, investasi bisnis juga 'tampak stabil' setelah mengalami pelemahan selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, The Fed juga masih mempertahankan outlook dua kali kenaikan lagi suku bunga AS pada tahun ini dan tiga lagi di 2018. Sekadar mengingatkan, pada 2016, bank sentral hanya menaikkan suku bunga acuan sebanyak satu kali. Kendati demikian, mereka tidak berencana melakukan percepatan pengetatan kebijakan moneter. The Fed dan jajarannya menegaskan kenaikan suku bunga acuan ke depannya masih akan dilakukan secara bertahap. Pada tahapan ini, suku bunga ditargetkan akan kembali ke level normal pada akhir 2019. "Hal ini cukup berhasil meredakan kecemasan market yang sebelumnya berpikiran bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga lebih cepat di masa yang akan datang. The Fed memilih untuk tidak memberikan sinyal tersebut," jelas Brad McMillan, chief investment officer Commonwealth Financial. Sementara itu, kelompok pekerja mendesak agar The Fed tidak buru-buru dalam mengerek suku bunga acuan. Sehingga, perekrutan tenaga kerja bisa terus berlangsung dan kenaikan upah menjadi hal yang mungkin terjadi. Catatan saja, jumlah penambahan tenaga kerja AS rata-rata per bulannya dalam tiga bulan terakhir mencapai 209.000 orang. Lebih tinggi dari kisaran yang dibutuhkan pertumbuhan ekonomi AS dilihat dari populasi warga bekerja, yakni 75.000-100.000. The Fed memproyeksikan, tingkat angka pengangguran akan turun ke posisi 4,5% pada tahun ini dan tetap berada di level tersebut hingga 2019. Yang masih menjadi pertanyaan saat ini adalah The Fed tidak memiliki pandangan yang jelas bagaimana kebijakan Presiden Donald Trump akan berdampak pada perekonomian. "Kami sudah mendiskusikan secara detil mengenai potensi perubahan kebijakan yang diterapkan dan kami masih menyusun respon apa yang akan kami lakukan nantinya. Kita masih memiliki waktu untuk melihat apa yang terjadi," jelas Yellen. Proyeksi The Fed menunjukkan ekonomi AS akan tumbuh 2,1% pada 2017, tak berubah dari prediksi Desember 2016. Sedangkan outlook tingkat inflasi inti naik tipis di 1,9% dari prediksi sebelumnya 1,8%. Sudah siapkah Indonesia? Kenaikan suku bunga AS memang berdampak besar bagi sejumlah emerging market, tak terkecuali Indonesia. Pasalnya, kebijakan itu dapat mendorong hengkangnya arus modal asing di mana investor mengalihkan portofolio investasi mereka ke AS dan negara maju lainnya. Hasilnya bisa ditebak. Terjadi volatilitas pada nilai tukar mata uang. Catatan saja, berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 0,6% sejak awal Februari lalu. Sedangkan berdasarkan data RTI, posisi nilai penjualan bersih asing per Senin, 14 Maret 2017, senilai Rp 270,4 miliar
(year to date). Bank Indonesia (BI) sejauh ini sudah menahan suku bunga acuan di level 4,75% sejak November 2016. Kendati demikian, BI menyadari ruang untuk pelonggaran kebijakan mulai terbatas. Kendati begitu, BI menegaskan pihaknya sudah bersiap diri menghadapi kenaikan suku bunga The Fed ini. Gubernur BI Agus Martowardojo bilang, untuk menjaga nilai tukar rupiah mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, BI tidak akan ragu melakukan intervensi pasar. "Bukan mencapai satu nilai tukar tertentu tetapi volatilitas yang mesti dijaga," katanya, Senin (6/3). Terkait rupiah, BI akan menggunakan dua intervensi, yaitu pasar rupiah dan menggunakan SBN Kalau diperlukan (
buyback di pasar SBN). Namun dia yakin sektor keuangan masih baik, sebab pelaku pasar sudah
priced in dengan mengantisipasi rencana kenaikan suku bunga AS di Maret ini. Kinerja makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan Indonesia juga membuat dampak kenaikan suku bunga The Fed tidak besar. Stabilitas ekonomi ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan yang terjaga. Agus yakin, risiko capital reversal atau pelarian modal tidak akan terjadi. Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim investor Amerika masih tetap berpandangan positif terhadap Indonesia. Menurut Sri Mulyani, para
bondholder melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu yang mencapai 5,02% termasuk capaian tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya. Namun, para bondholder juga menanyakan apakah kebijakan monter Indonesia tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. "Karena itu para
bondholder sebetulnya melihat kinerja perekonomian Indonesia, apakah dari pertumbuhan, dari angka desifit APBN, dari neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, dari
capital inflow yang berasal dari FDI kemudian maupun dari non FDI, mereka cukup comfortable," kata Sri Mulyani, Selasa (14/3). Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan tidak khawatir apabila suku bunga bank AS diputuskan naik pada Maret ini. Meski demikian, dia mengakui, kebijakan itu akan berdampak ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. “Pasti ada lah dampaknya, tapi ya tidak besar. Selama ini semua perekonomian itu sudah mengantisipasi bahwa itu akan terjadi dan sudah di-
price in (disesuaikan) itu istilah ekonominya. Ada ya naik beberapa hari, seminggu, habis itu ya tenang lagi,” ujar Darmin kepada KONTAN, awal Maret lalu. Ekonom Bank Permata, Josua Pardede bilang, kenaikan suku bunga Fed akan berdampak pada emerging market termasuk rupiah dan pasar keuangan Indonesia. Walau kondisi fundamental ekonomi Indonesia makin kuat, antisipasi perlu disiapkan pemerintah dan BI. Joshua menyarankan, agar pemerintah fokus pada penguatan cadangan devisa dan protokol penanganan krisis di pasar keuangan. Dengan langkah itu, rupiah diperkirakan akan cenderung stabil walau ada kenaikan suku bunga AS. Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan juga yakin, investor masih berminat menanamkan uangnya di Indonesia sehingga aliran modal asing tetap masuk. Hitungan Anton, jika suku bunga AS naik hingga 150 basis points (bps) sepanjang tahun ini, masih ada selisih 3,25% dari suku bunga BI 7-day reverse repo rate. Imbal hasil (yield) yang ditawarkan pemerintah juga masih menarik sekitar 7%-8%, lebih tinggi dibanding US Treasury bertenor 10% yang hanya 2%. Anton memperkirakan, nilai tukar rupiah bisa ditahan di level Rp 13.400 per dollar AS. "Kecuali kalau The Fed naik sampai 2% (empat kali) dan US Treasury ke 3%, itu bisa menekan rupiah ke Rp 13.800 per dolar AS," ujarnya. BI rate tetap? Pada hari ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) juga akan memutuskan besaran suku bunga acuan atau yang disebut BI 7-day repo rate. Menurut Bahana Sekuritas, BI belum perlu merespon kenaikan suku bunga The Fed dengan serta merta menaikkan suku bunga acuan di dalam negeri. Pasalnya, inflasi di dalam negeri diperkirakan masih akan berada dalam target BI antara 3%-5% untuk sepanjang tahun ini, meski pemerintah masih melanjutkan rencana kenaikan tarif listrik. "Kenaikan suku bunga The Fed kali ini tidak akan terlalu membahayakan pasar dan perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Arus modal ke pasar obligasi diperkirakan masih akan mengalir seiring dengan ekspektasi adanya kemungkinan S&P menaikkan rating Indonesia dalam waktu dekat," terang ekonom Bahana Fakhrul Fulvian dalam riset yang dirilis kemarin. Menurut Fakhrul, fundamental Indonesia yang masih memperlihatkan pemulihan akan menjadi pertimbangan utama bank sentral dalam mempertahankan suku bunga di level 4,75% pada bulan ini. Hal itu terlihat dari stabilnya nilai tukar, perbaikan neraca perdagangan serta perekonomian yang diperkirakan belum akan tumbuh signifikan pada kuartal pertama ini. "Apalagi hingga akhir tahun lalu kredit perbankan masih tumbuh 7,9% secara tahunan. Tahun ini perbankan menargetkan kredit akan tumbuh sekitar 10%-12%," jelas Fakhrul. Aktifnya perbankan dalam menyalurkan kredit, tentu akan mengerek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menurut BI masih bisa bertumbuh antara 5% - 5,4% untuk sepanjang tahun ini. Estimasi ini sesuai dengan perkiraan Bahana yang sebelumnya sudah memperkirakan ekonomi akan tumbuh sebesar 5,4% pada 2017.
Sedangkan ekonom DBS Bank yang berbasis di Singapura, Gundy Cahyadi, dalam laporannya menulis kebijakan The Fed pada bulan ini dan indikasi atas kenaikan suku bunga The Fed dalam dua tahun ke depan, akan mendorong BI untuk memulai proses normalisasi dengan hanya menaikkan 7 days reverse repo rate sebesar 25 basis poin pada kuartal III. "BI akan lebih agresif jika inflasi naik lebih cepat dari prediksi atau rupiah melemah melampaui ekspektasi," tulis Gundy. Gundy menambahkan, bank sentral akan berupaya menenangkan market dengan menekankan mereka akan melakukan intervensi dalam menghadapi volatilitas mata uang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie