KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja bursa global meningkat usai Ketua Federal Reserve Jerome Powell memastikan rencana penurunan suku bunga acuan. Dalam pidatonya pada konferensi Jackson Hole, Powell menyatakan dukungan pada pelonggaran kebijakan yang akan segera dilakukan dengan mengacu pada risiko di pasar kerja dan inflasi yang hampir mencapai target The Fed sebesar 2%. Pada Jumat (23/8), Dow Jones Industrial Average naik 462,3 poin atau 1,14% menjadi 41.175,08. Lalu, indeks S&P 500 naik 63,97 poin atau 1,15% menjadi 5.634,61 dan Nasdaq Composite menguat 258,44 poin atau 1,47% ke level 17.877,79. Di perdagangan terakhir pada pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) memang menguat ke level 7.544. Dalam sepekan kemarin, IHSG bahkan berhasil menguat 1,51%. Namun, apakah penguatan kinerja IHSG bisa berlanjut hingga akhir tahun 2024?
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat melihat, kinerja IHSG akan ikut tersengat dari sentimen penurunan suku bunga The Fed. Namun, kenaikan IHSG di tahun 2024 kemungkinan masih akan terbatas.
Baca Juga: Sempat Turun Signifikan 30% per Juni, Kini Hasil Investasi Asuransi Jiwa Kembali Naik Sebab, saat ini statusnya masih ekspektasi pasar. Penurunan suku bunga The Fed belum terjadi, tetapi kinerja indeks dan harga saham sudah naik terlebih dulu. “Artinya, ketika penurunan suku bunga betulan terjadi, akan terjadi
profit taking yang menyebabkan kinerja IHSG dan saham-saham akan kembali turun,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (25/8).
Profit taking akan terjadi dalam jangka pendek, paling tidak di bulan September atau Oktober. IHSG diproyeksikan bisa turun paling rendah di level 7.200. Setelahnya, IHSG akan kembali naik, paling tinggi di posisi 7.700 di akhir tahun 2024. Selain karena
cooling down itu, kinerja IHSG masih digerakkan oleh kinerja emiten yang kinerja saham dan fundamental tidak dipengaruhi oleh pergerakan suku bunga.
Baca Juga: Emiten Konsumer Bakal Didukung Pilkada dan Pemangkasan Suku Bunga di Semester II-2024 “Misalnya saja, kinerja BREN yang naik dan turunnya tidak dipengaruhi level suku bunga. Padahal, kapitalisasi pasarnya besar dan harga sahamnya fluktuatif. Alhasil, tidak bisa langsung disimpulkan Fed Rate turun, IHSG bisa naik kencang,” katanya. Menurut Teguh, sektor yang tersengat sentimen positif adalah sektor batubara karena harga komoditas yang bisa ikut naik. Lalu, emiten-emiten dengan bisnis impor atau obligasi dolar kinerjanya akan tersengat, karena ada potensi pelemahan indeks dolar Amerika Serikat (AS) usai penurunan Fed Rate. Misalnya, bisnis INDF dan ICBP yang terbantu akibat harga impor gandum turun. Bisnis sektor
poultry terbantu karena harga jagung bisa turun. Lalu, emiten properti dengan surat utang dolar juga bisa tersengat dampak positif. “Intinya, ketika suku bunga tinggi itu berarti pertumbuhan ekonomi melambat dan sebaliknya. Penurunan suku bunga berarti semua sektor akan diuntungkan karena pertumbuhan ekonomi bisa melaju,” paparnya.
Baca Juga: Intip Proyeksi Pergerakan IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Awal Pekan Ini (26/8) Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus melihat, ketika situasi dan kondisi dalam negeri mendukung, seperti tensi politik dalam keadaan tenang dan normal, seharusnya IHSG akan mengalami penguatan sama seperti indeks global lainnya. Penurunan tingkat suku bunga The Fed juga diharapkan dapat diikuti oleh Bank Indonesia (BI), sehingga dapat memberikan dorongan kepada perekonomian dalam negeri. “Penurunan tingkat suku bunga akan mendorong daya beli dan konsumsi, serta meningkatkan daya tarik terhadap aset yang berisiko, seperti saham. Sehingga, tentu saja saham akan mengalami kenaikan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (25/8). Saat ini, kinerja IHSG dinilai masih tergolong baik, karena bisa menembus level tertinggi di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi. Hal ini membuat Nico melihat IHSG bisa menyentuh 7.640-7.720 di akhir tahun 2024.
Baca Juga: Dalam Sepekan, IHSG Masih Disetir Sentimen Bunga The Fed Nico melihat, semua sektor saham bisa naik kencang jika suku bunga The Fed turun. Sektor finansial akan menjadi yang pertama kali bergerak naik. “Lalu, diikuti properti,
consumer non-cyclical, otomotif, energi, dan semua sektor lainnya.
Healthcare mungkin akan melemah, karena salah satu sektor yang defensif,” ungkap dia. Nico merekomendasikan beli untuk
BBCA dengan target harga Rp 11.350 per saham,
BBRI Rp 5.700 per saham,
BBNI Rp 6.000 per saham,
BMRI Rp 7.650 per saham,
BRIS Rp 2.900 per saham,
CTRA Rp 1.500 per saham,
INDF Rp 7.900 per saham,
ICBP Rp 13.600 per saham,
MYOR Rp 2.980 per saham,
AMRT Rp 3.450 per saham,
ACES Rp 960 per saham, dan
MAPI Rp 1.850 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati