ThorCon International kritik beberapa pasal terkait sektor nuklir di RUU EBT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, ThorCon International Pte. Ltd. menilai, Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan draf tertanggal 10 September 2020 yang sedang dibahas di DPR RI telah menunjukkan bahwa opsi terakhir terhadap nuklir di dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 sudah tidak lagi relevan.

Dalam pertimbangan RUU tersebut, nuklir menjadi bagian di dalamnya yang diakui bukan hanya sebagai energi yang bersih melainkan juga sebagai energi ramah lingkungan.

Akan tetapi, dalam draf tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang cukup mengkhawatirkan karena dapat membuat mundur sektor ketenaganukliran. Padahal, sektor ini baru akan muncul ke permukaan seiring adanya pihak swasta yang ingin berinvestasi di sana yaitu ThorCon International. Hasil pengembangan nuklir tersebut diharapkan bisa menjual listrik dengan tarif di bawah BPP nasional sehingga menjadi komponen transisi energi.


Menurut ThorCon, ada beberapa masalah dalam draf RUU EBT, antara lain memunculkan kekhawatiran bagi badan usaha swasta yang berminat melakukan investasi pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yaitu pada ketentuan pasal 7 ayat 3 RUU EBT.

Baca Juga: Pengaturan nuklir masih jadi perdebatan, RUU EBT atau RUU ET?

Di sana tertulis bahwa pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning PLTN dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK). Hal ini menunjukkan adanya monopoli dalam hal pembangunan PLTN oleh BUMNK tersebut dan ThorCon menilai pasal tersebut merupakan pasal selundupan.

Tak hanya itu, ketentuan tersebut juga melanggar UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran yang membuka peluang untuk BUMN, swasta, dan koperasi untuk dapat membangun PLTN.

Dengan adanya pasal 7 ayat 3, diasumsikan bahwa pembangunan PLTN akan dibiayai oleh APBN melalui BUMNK. Hal ini akan menutup investasi yang akan masuk untuk bidang ketenagalistrikan yang mana pada banyak sektor lainnya perihal investasi sedang digencarkan untuk dibuka seluas-luasnya oleh pemerintah. Alhasil, beleid tersebut tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah sendiri.

Masalah selanjutnya adalah di pasal 7 ayat 5 RUU EBT yang mengatur bahwa pembangunan PLTN ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan dari DPR RI. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU Ketenaganukliran pasal 13 ayat 4 bahwa pembangunan reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN ditetapkan pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI.

Diksi persetujuan dalam RUU EBT tersebut bertentangan dengan diksi berkonsultasi dalam UU Ketenaganukliran yang telah berlaku.

Apabila nantinya pemerintah mesti meminta persetujuan DPR RI untuk membangun PLTN sebagaimana yang ditulis di dalam RUU EBT, maka dikhawatirkan akan membuka ruang politisasi pembangunan PLTN tersebut yang berujung kepada voting di parlemen.

Kemudian, pasal 12 ayat 1 RUU EBT juga memunculkan masalah yang mana untuk menjamin terselenggaranya keselamatan ketenaganukliran nasional, pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Daya Nuklir yang mana kewenangan tersebut sebenarnya dimiliki oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang sudah terbentuk berdasarkan UU No. 10 Tahun 1997.

Bapeten punya tugas dan tanggung jawab serta kompetensi dalam memastikan keselamatan di bidang ketenaganukliran.

Seharusnya, majelis tersebut lebih mendorong kebijakan nuklir, bukan bicara keselamatan sehingga bisa lebih implementatif. Adapun fungsi operasional bukan dalam bentuk majelis yang hanya memberikan pertimbangan. Hal terebut sudah dijalankan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).

Baca Juga: Karpet merah pengembangan pembangkit nuklir dalam RUU EBT

Berikutnya, pasal 9 RUU EBT bicara tentang galian nuklir yang rasanya tidak relevan masuk ke dalam RUU tersebut karena tidak berhubungan dengan energi, melainkan justru dengan pertambangan. Perihal galian nuklir sudah dibahas dalam pasal 9 UU Ketenaganukliran.

Bob Effendi, Kepala Perwakilan ThorCon International menyebut, RUU EBT ini menunjukkan banyaknya ketentuan yang tumpang tindih dengan ketentuan di dalam UU Ketenaganukliran.

“Semua hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan merugikan tidak hanya bagi pihak investor yang berminat untuk melakukan investasi di bidang ketenaganukliran, melainkan juga negara dan badan-badan yang telah ditugaskan oleh UU No. 10/1997,” ungkap dia dalam siaran pers yang diterima Kontan, Jumat (18/9).

Lantas, ia menyimpulkan, RUU EBT memiliki beberapa pasal yang diselundupkan sehingga mencederai ketentuan dalam UU No. 10/1997 sebagai UU induk nuklir yang pasti akan membuat mundur sektor nuklir nasional.

Selanjutnya: Pengembang PLTN menilai ada pasal selundupan dalam RUU EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari