JAKARTA. Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, Eko Yulianto mengatakan, nantinya pihak-pihak yang melanggar kewajiban penggunaan rupiah akan dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur dalam UU Mata Uang No. 7 tahun 2011. Sanksi tersebut berupa kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta. "Kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai berlaku sejak UU Mata Uang," jelas Eko di Kantornya, Jakarta, Kamis (9/4). Sementara itu untuk pelanggaran kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi non-tunai, Eko mengatakan akan mengenakan sanksi administratif. "Dalam bentuk teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar (1 persen dari nilai transaksi dan/atau maksimal Rp 1 miliar), terakhir larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran," jelas Eko. Sebelumnya, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan BI No. 17/3/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di Wilayah NKRI dengan pertimbangan banyaknya transaksi dalam negeri masih menggunakan valas. Eko mengatakan, penggunaan valas yang cukup besar, akan memberikan tekanan pada nilai Rupiah dengan jumlah transaksi valas perbulan mencapai 6 miliar dollar AS. PBI Ini berlaku sejak diundangkan pada 31 Maret 2015, untuk tunai dan non-tunai mulai dari 1 Juli 2015. "Ini transaksi yang jelas-jelas dalam negeri bukan di luar negeri. Cukup signifikan terhadap rupiah dengan jumlah transaksi sebesar itu," kata Eko. Menurut dia, penggunaan valas ini memiliki dampak yang kuat pada industri manufakturing dalam negeri. Eko mengatakan industri-industri tersebut adalah migas, plastik, dan pakaian. "Masih banyak yang menggunakan, tapi data statistiknya susah. Bisa lebih banyak dari itu (6 miliar dollar AS)" jelas Eko. Eko berharap dengan peraturan ini maka terjadi pengendalian terhadap nilai tukar Rupiah. Kemudian Rupiah bisa kembali menjadi lambang kedaulatan seperti di UU Mata Uang. "Tidak mau jadi dollarisasi kan maka harapannya terjadi pengendalian nilai tukar supaya tidak tercemar. Lalu karena shadow demand terhadap valas yang seharusnya tidak menyimpan dollar tapi ada permintaan," jelas Eko. Terkait pengawasan dan pelaporan pelaksanaan peraturan baru ini, Eko mengatakan, BI diberikan kewenangan untuk meminta laporan, keterangan, dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah. "Kemudian BI akan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan Rupiah," jawab Eko. Larangan pencantuman harga selain rupiah Selain itu, PBI yang berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI dan UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011 tersebut, mewajibkan pencatuman harga barang dan/jasa (kuotasi) hanya dalam rupiah. "Pertimbangannya karena di UU Mata Uang jelas bahwa alat pembayaran satu-satunya di NKTI adalah rupiah. Lalu masyarakat cenderung belum dapat membedakan kuotasi dengan pembayaran," kata Eko. Selain itu, Eko mengatakan pencatuman kuotasi dengan valas, kurs yang digunakan cenderung menguntungkan salah satu pihak. Eko memberi contoh implementasi peraturan ini kepada jasa travel yang sering menggunakan valas dalam pencantuman harga. "Nanti di jasa travel yang mencantumkan harga valas akan disidak juga, bisa dicabut izin usahanya," kata Eko. (Stefanno Reinard Sulaiman) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Tidak gunakan Rupiah, bisa dipenjara 1 tahun
JAKARTA. Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, Eko Yulianto mengatakan, nantinya pihak-pihak yang melanggar kewajiban penggunaan rupiah akan dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur dalam UU Mata Uang No. 7 tahun 2011. Sanksi tersebut berupa kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta. "Kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai berlaku sejak UU Mata Uang," jelas Eko di Kantornya, Jakarta, Kamis (9/4). Sementara itu untuk pelanggaran kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi non-tunai, Eko mengatakan akan mengenakan sanksi administratif. "Dalam bentuk teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar (1 persen dari nilai transaksi dan/atau maksimal Rp 1 miliar), terakhir larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran," jelas Eko. Sebelumnya, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan BI No. 17/3/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di Wilayah NKRI dengan pertimbangan banyaknya transaksi dalam negeri masih menggunakan valas. Eko mengatakan, penggunaan valas yang cukup besar, akan memberikan tekanan pada nilai Rupiah dengan jumlah transaksi valas perbulan mencapai 6 miliar dollar AS. PBI Ini berlaku sejak diundangkan pada 31 Maret 2015, untuk tunai dan non-tunai mulai dari 1 Juli 2015. "Ini transaksi yang jelas-jelas dalam negeri bukan di luar negeri. Cukup signifikan terhadap rupiah dengan jumlah transaksi sebesar itu," kata Eko. Menurut dia, penggunaan valas ini memiliki dampak yang kuat pada industri manufakturing dalam negeri. Eko mengatakan industri-industri tersebut adalah migas, plastik, dan pakaian. "Masih banyak yang menggunakan, tapi data statistiknya susah. Bisa lebih banyak dari itu (6 miliar dollar AS)" jelas Eko. Eko berharap dengan peraturan ini maka terjadi pengendalian terhadap nilai tukar Rupiah. Kemudian Rupiah bisa kembali menjadi lambang kedaulatan seperti di UU Mata Uang. "Tidak mau jadi dollarisasi kan maka harapannya terjadi pengendalian nilai tukar supaya tidak tercemar. Lalu karena shadow demand terhadap valas yang seharusnya tidak menyimpan dollar tapi ada permintaan," jelas Eko. Terkait pengawasan dan pelaporan pelaksanaan peraturan baru ini, Eko mengatakan, BI diberikan kewenangan untuk meminta laporan, keterangan, dan/atau data kepada setiap pihak yang terkait pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah. "Kemudian BI akan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan Rupiah," jawab Eko. Larangan pencantuman harga selain rupiah Selain itu, PBI yang berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI dan UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011 tersebut, mewajibkan pencatuman harga barang dan/jasa (kuotasi) hanya dalam rupiah. "Pertimbangannya karena di UU Mata Uang jelas bahwa alat pembayaran satu-satunya di NKTI adalah rupiah. Lalu masyarakat cenderung belum dapat membedakan kuotasi dengan pembayaran," kata Eko. Selain itu, Eko mengatakan pencatuman kuotasi dengan valas, kurs yang digunakan cenderung menguntungkan salah satu pihak. Eko memberi contoh implementasi peraturan ini kepada jasa travel yang sering menggunakan valas dalam pencantuman harga. "Nanti di jasa travel yang mencantumkan harga valas akan disidak juga, bisa dicabut izin usahanya," kata Eko. (Stefanno Reinard Sulaiman) Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News