Tidak Mudah, Pelaku Usaha Butuh Waktu Kembangkan Hilirisasi Timah di Tanah Air



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia mendorong mineral mentah diproses untuk menghasilkan nilai tambah di Tanah Air. Maka itu, sesuai dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sejumlah mineral mentah dilarang dijual ke luar negeri. 

Setelah bijih nikel dilarang ekspor pada 2020, Pemerintah akan melaksanakan moratorium ekspor bijih bauksit pada Juni 2023. Sedangkan pelarangan ekspor komoditas timah atau tin ingot masih dipertimbangkan dan menunggu pengumuman Presiden. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto menyatakan, smelter timah sudah banyak di Indonesia. Adapun pihaknya sudah memproduksi dan mengekspor timah murni (99.9-99.99% Sn), bukan ore atau bahan setengah jadi. Ini sudah berlaku sejak 2002 dan pelarangan di 2007. Maka itu pihaknya akan sangat kaget kalau pelarangan ekspor timah langsung diterapkan 100%. 


Baca Juga: Tanggapan Pengusaha Smelter Soal Rencana Pemerintah Batasi Pembangunan Smelter Nikel

“Berdasarkan hasil dari Focus Group Discussion (FGD) atau Pokja, data menunjukkan serapan domestik sangat tidak mendukung,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (9/3). 

Jabin mengatakan, hilirisasi yang bijak adalah pemberlakuan secara bertahap dan membuat ekosistemnya dahulu. Kalau tidak begitu, pelaku usaha tidak bisa bersaing dengan produk hilir dari negara lain. 

Dia menuturkan, saat ini pemerintah meminta pelaku usaha membangun industri yang memakai bahan baku timah. 

“Nah justru ini adalah kendalanya di mana kami sama sekali tidak ada keterampilan untuk ke bidang industri hilir timah. Kami penambang dan juga sudah punya pabrik smelter dan refinasi, menghasilkan timah murni batangan di mana sesuai Permendag di tahun 2014 wajib diperdagangkan di bursa,” ujarnya. 

Maka itu, industri timah saat ini membutuhkan waktu untuk membuat feasibility studies (FS), mencari calon investor, lahan, dan belajar tentang suatu hal yang selama ini belum punya pengalaman di bidang hilirisasi timah seperti pabrik tin soldier, tin chemical, dan lainnya. 

Jabin menegaskan, diperlukan peta jalan (road map) yang bisa diterima oleh pemerintah dan juga pengusaha. Harus bertahap untuk menciptakan ekosistem hilir timah di Indonesia. 

“Jangan hanya untuk ke soldier atau tin chemical saja karena kalau hanya seperti itu kami tidak bisa berkompetisi secara harga di market global mengingat investasi yang sangat tinggi dan juga kita melawan industri yang sudah ada ekosistem,” tegasnya. 

Sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara, Ridwan Djamaluddin menjelaskan, berdasarkan analisis tim Pokja, jika logam timah diproduksi menjadi timah soldier, capital expenditure (capex) yang dibutuhkan untuk membangun pabrik diperlukan modal Rp 20 miliar. Lalu jika mau membangun pabrik Tin Chemical dibutuhkan investasi Rp 300 miliar dan untuk Tinplate dibutuhkan dana Rp 2,3 triliun. 

Baca Juga: Jokowi: Tetap Larang Ekspor Bahan Mentah Meski Dimusuhi Banyak Negara Lain

Adapun rata-rata waktu yang diperlukan untuk membangun pabrik tersebut kurang lebih dua tahun. 

“Jika larangan ekspor logam timah dilakukan dalam waktu dekat, maka kami juga menghitung dan menyiapkan sejumlah strategi,” ujarnya. 

Strategi tersebut ialah merangkul pemain-pemain global yang sudah ada agar berkolaborasi melaksanakan investasi di hilirisasi timah. Menurutnya, kerja sama ini sangat diperlukan karena komoditas hilir timah hanya diperlukan sedikit-sedikit dalam produk akhir misalnya handphone, komputer, otomotif, dan lainnya. 

Kerja sama ini didorong oleh Ridwan lantaran penyerapan timah di dalam negeri masih mini. Meski Indonesia merupakan produsen dan pemasok logam timah nomor dua terbesar di dunia, rata-rata penyerapan timah dalam negeri rata-rata hanya 5% saja. 

Maka itu, Ridwan menyatakan, Indonesia perlu waktu setidaknya dua tahun menunggu pembangunan pabrik hilir timah sebelum melarang ekspor. “Kemudian juga dukungan kebijakan insentif dan lainnya yang saat ini belum ada,” terangnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .