KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyatakan tidak memiliki biaya yang cukup untuk menyuntik mati seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam waktu 15 tahun ke depan. Sebab, suntik mati PLTU membutuhkan dana yang besar, sehingga PLN meminta dukungan internasional untuk mewujudkan pemadaman seluruh PLTU dalam waktu 15 ke depan. Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto menargetkan program pensiun dini seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan tuntas dalam 15 tahun ke depan. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, perusahaan tidak memiliki anggaran untuk menghentikan operasional seluruh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dalam 15 tahun, seperti yang diharapkan Presiden Prabowo Subianto.
"Kami telah menetapkan kriteria bahwa penghentian PLTU harus
cost-neutral. Artinya, jika ada biaya tambahan, itu bukan tanggung jawab pemerintah atau PLN. Dampak pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) ini dirasakan oleh komunitas global, bukan hanya Indonesia," kata Darmawan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR, Selasa (3/12). Menurut Darmawan, PLN berhati-hati dalam proses transisi ini, terutama karena penghentian PLTU memerlukan investasi baru untuk mengganti kapasitas listrik dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Baca Juga: Begini Rincian Skema Pensiun Dini PLTU Cirebon 1 dan Persiapan Pemerintah Lebih lanjut, Darmawan memperkirakan penghentian satu unit PLTU memerlukan biaya tambahan sebesar Rp 30 triliun hingga Rp 50 triliun. Selain itu, PLN harus memastikan keandalan sistem saat beralih ke pembangkit berbasis EBT yang lebih modern. “Kami terbuka terhadap pendanaan global yang bersifat gratis dan
cost-neutral. Jika ada investor internasional yang bersedia membantu menggantikan PLTU kami dengan teknologi baru yang lebih canggih, tentu kami mendukung," ungkapnya. Darmawan berujar pengalihan dari PLTU ke pembangkit EBT bukanlah hal yang mudah. Namun, ia mengapresiasi komunitas internasional yang berkomitmen membantu Indonesia mencapai target transisi energi. “Presiden sudah memberikan arahan untuk menghentikan PLTU, dan kami mendukungnya. Namun, proses ini harus dilakukan secara bertahap dan terencana. Kami sedang menganalisis kebutuhan dan potensi bantuan internasional yang bisa mendukung langkah ini,” tuturnya. Untuk itu, PLN menekankan pentingnya kolaborasi global dalam mendukung langkah keberlanjutan, mengingat dampak positif transisi energi ini bersifat universal. Direktur Eksekutif
Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memiliki perhitungan terkait biaya dan strategi pensiun dini PLTU. Berdasarkan perhitungan IESR, biaya pensiun dini seluruh PLTU di Indonesia hingga 2040 dengan total kapasitas 45 gigawatt diperkirakan mencapai US$ 27 miliar (sekitar Rp 420 triliun). "Sebagian besar biaya ini diperlukan untuk memberikan kompensasi kepada penyedia listrik independen (IPP)," kata Fabby saat dihubungi KONTAN, Rabu (4/12). Selain biaya penutupan PLTU, kata Fabby, penggantian kapasitas listrik dengan pembangkit energi terbarukan juga memerlukan investasi besar. Total kebutuhan diperkirakan mencapai US$ 1 miliar sampai dengan US$ 1,2 miliar untuk membangun pembangkit baru, memperkuat jaringan transmisi, dan mengakomodasi pertumbuhan permintaan listrik hingga 2050. Menurut Fabi, ada solusi untuk menekan biaya pensiun dini, seperti mengganti kontrak listrik PLTU dengan pembangkit energi terbarukan. Pemilik PLTU dapat membangun pembangkit baru berbasis energi terbarukan dengan sisa kontrak mereka sebagai modal. "Dengan skema ini, biaya pensiun dini bisa lebih efisien," tandasnya.
Baca Juga: Bahlil Sebut Ada Perusahaan Nikel Minta Produksi 40% dari Total Produksi Nasional Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati