Tiga emiten terangkat stempel S&P



JAKARTA. Standard & Poor's (S&P) tidak hanya menaikkan rating investasi Indonesia. S&P juga menaikkan rating sejumlah emiten dalam negeri, seperti PT Astra International Tbk (ASII), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Rating PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel), yang adalah anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), juga ikut dinaikkan.

Kenaikan peringkat akan membuat prospek bisnis emiten kian cerah. "Dengan kenaikan rating, emiten akan jadi lebih mudah mencari sumber pendanaan baru," kata analis First Asia Capital David Sutyanto kepada KONTAN akhir pekan lalu.

Misalnya, pascapengumuman kenaikan rating, ASII berniat mencari pendanaan melalui instrumen obligasi. Karena rating naik, investor melihat risiko untuk membeli obligasi ASII mengecil.


Karena posisi itu, ASII tidak perlu repot-repot menawarkan kupon yang besar demi menarik minat investor. ASII bisa memperoleh dana segar untuk modal ekspansi dengan biaya dana lebih murah. "Misalnya, selama ini kupon yang ditawarkan 10% per tahun. Tapi pascapengumuman rating, kuponnya bisa turun jadi sekitar 7%," jelas David.

Bukan hanya instrumen obligasi, sumber pendanaan melalui pinjaman pun sama. Perusahaan otomotif ini memiliki kesempatan untuk mencari pinjaman bank dengan bunga lebih murah.

Situasi seperti ini bisa saja membuat investor beralih ke saham lain tapi memiliki bisnis inti sejenis. "Bisa saja nanti yang memegang ISAT jadi beralih ke TLKM," imbuh David.

Penggerak indeks

Prospek TLKM juga menjadi kian menarik pascakenaikan rating anak usahanya. Meski begitu, bukan berarti emiten lain jadi kalah pamor.

Perlu diingat, ASII dan PGAS merupakan saham dengan kapitalisasi pasar jumbo. Hampir bisa dipastikan prospek saham kategori ini menarik. Saham ASII menjadi salah satu saham favorit selama momen bulan puasa hingga lebaran.

PGAS juga memiliki sentimen tersendiri. Terlepas dari masalah fluktuasi harga komoditas, status PGAS sebagai emiten pelat merah bisa menjaga prospek PGAS.

Hal ini bisa menjadi penetralisir andai valuasi saham-saham ini terus meninggi. "Karena murah atau mahal, hal itu menjadi relatif jika mempertimbangkan prospek kinerja ke depan," tambah William Surya Wijaya, analis Indosurya Mandiri Sekuritas.

Artinya, saham-saham ini akan tetap menjadi buruan. Karena memiliki kapitalisasi pasar besar, maka saham-saham tersebut bakal mengerek pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Reza Priyambada, analis Binaartha Parama Sekuritas, memprediksi, indeks pekan ini bisa menguat dengan rentang support 5.685-5.715 dan resistance 5.812-5.827, dibanding pekan sebelumnya di support 5.630-5.650 dan resistance 5.695-5.738. Pergerakan ini sudah mempertimbangkan sentimen S&P.

Kendati demikian, kewaspadaan tetap diperlukan. Sebab, indeks yang sempat menyentuh level di atas 5.800 pada akhir pekan lalu, yang merupakan level tertinggi dalam sejarah, berpotensi akan kembali dilanda aksi ambil untung.

David sependapat. Potensi profit taking ada setelah IHSG mencetak rektor. Profit taking ini cukup beralasan.

Investor asing terus net buy di bursa saham beberapa bulan terakhir. Sentimen S&P menjadi alasan untuk ambil untung. "Mereka sudah dari awal beli di bawah, sekarang ada alasan untuk jual, jadi investor jangan buru-buru masuk," kata David.

Meski begitu, melihat historikal, potensi penguatan IHSG belum berakhir. Saat Indonesia memperoleh level investment grade sebelum ini, IHSG naik selama sepekan. "Seperti yang terjadi saat Moodys menaikkan rating pada awal 2016 dan Fitch Ratings yang juga mengafirmasi kenaikan menjadi investment grade pada November 2015," tutur Reza.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia