Tiga pekan anjlok 15%, ini faktor penggerus minyak



NEW YORK. Pasar minyak kembali bergejolak setelah menikmati rebound beberapa waktu terakhir.

Pada Kamis (4/5) kemarin, market kembali mencemaskan mengenai melimpahnya suplai minyak dunia. Kondisi ini membuat harga si emas hitam anjlok 15% dari posisi tertingginya pada pertengahan April lalu ke posisi US$ 45,52 per barel.

Ini merupakan level terendah harga minyak sejak 29 November lalu, hari sebelum OPEC melakukan finalisasi perjanjian untuk memangkas produksi minyak.


Kesepakatan OPEC, yang merupakan pemangkasan pertama sejak 2008, berhasil membuat harga minyak bullish. Harga minyak terus melaju dan banyak pihak meramal harga minyak akan segera kembali ke posisi US$ 60-plus karena kelebihan pasokan minyak akhirnya bisa dipangkas.

Namun, kondisi itu berbalik arah. Pada Kamis (4/5) kemarin, harga minyak kembali anjlok 5% sehingga menyeret saham-saham berbasis energi ke zona merah pada tahun ini.

"Kamis kemarin merupakan hari yang menakutkan bagi miliaran dollar dana yang diinvestasikan saat harga minyak naik. Kami masih terus menanti pergerakan lambat harga minyak ini," jelas Tom Kloza, global head of energy analysis Oil Price Information Service.

Tambahan informasi saja, melonjaknya produksi minyak serpih AS dalam satu dekade terakhir telah mengubah landscape energi global. Kondisi ini mendongkrak Amerika Serikat sebagai salah satu produsen minyak global papan atas.

Melimpahnya pasokan minyak global menyebabkan harga minyak jatuh di akhir 2015 dan awal 2016. Alhasil, produksi minyak serpih AS, khususnya di area seperti ladang minyak Bakken, North Dakota, terpukul.

Namun, minyak serpih berhasil pulih saat ini, terbantu oleh kemajuan teknologi dan model bisnis baru yang memudahkan perusahaan untuk mendongkrak keuntungan lebih tinggi saat harga minyak rendah dibanding sebelumnya. Lihat saja bagaimana pengoperasian rig minyak AS yang saat ini melonjak dua kali lipat dibanding tahun lalu.

"Banyak sekali pemain global yang tidak memprediksi produksi minyak AS mampu naik secepat ini, khususnya pada level harga sekarang," jelas Jenna Delaney, senior oil analyst Platts Analytics.

Tingginya produksi minyak AS membayangi upaya OPEC dan negara-negara non-OPEC seperti Rusia untuk menyokong pasar minyak.

Sebelumnya, banyak kritik yang memprediksi OPEC akan mencurangi kuotanya sendiri. Kendati begitu, OPEC membuktikan pada tahun ini bahwa mereka benar-benar menjalankan kesepakatan pemangkasan produksi.

Sayangnya, upaya OPEC terganjal dengan ditingkatkannya produksi minyak oleh Libya dan Nigeria. Produksi di kedua negara itu lebih tinggi dari prediksi.

Faktor lain yang menekan pasar minyak adalah rendahnya permintaan bensin AS. Tingkat permintaan besin AS belakangan ini turun hampir seperempat dari jutaan barel per hari dibanding tahun lalu.

Para pengendara di AS kemungkinan bereaksi pada fakta bahwa meskipun harga bensin di sejumlah pom bensin rendah, namun masih tinggi dibanding tahun lalu. Berdasarkan data AAA, satu galon bensin saat ini dibanderol seharga US$ 2,37. Sedangkan pada Maret 2016, harganya di bawah US$ 2 per galon.

"Tahun lalu, harga bensin sangat murah, di bawah US$ 2 galon. Ini yang kemungkinan mendorong permintaan bensin," jelas Kloza.

Semua faktor tersebut kian menambah tekanan terhadap OPEC, yang akan menggelar pertemuan pada 25 Mei di Vienna. Ada dukungan agar OPEC memperpanjang periode pemangkasan produksi sebanyak tiga hingga enam bulan.

"Sekarang sepertinya, masa pemangkasan produksi harus diperpanjang lagi hingga 2018," jelas Vincent Piazza, senior analyst Bloomberg Intelligence.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie