Tiga Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf, Aprindo: Ritel Belum Jadi Sektor Prioritas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengapresiasi kinerja periode kedua Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin yang telah berjalan 3 tahun tepat pada 20 Oktober 2022 besok. Hanya saja masih terdapat sejumlah catatan, khususnya terkait sektor ritel.

Ketua Umum Aprindo, Roy N Mandey, mengapresiasi kinerja pemerintah yang telah menggelontorkan berbagai bantuan kepada masyarakat untuk menjaga daya beli yang terdampak pandemi Covid-19.

Hanya saja, Roy menilai kebijakan tersebut mestinya dibarengi dengan keberpihakan pada sektor ritel untuk mendapat alokasi bantuan dalam pemulihan ekonomi nasional.


"Ritel tidak menjadi sektor prioritas, dari APBN 2020, 2021, 2022 kita ngga pernah masuk dalam sektor prioritas yang perlu dibantu melalui dana alokasi pemulihan ekonomi nasional," ujar Roy saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (19/10).

Baca Juga: Kinerja Masih Bersinar, Saham Matahari Department Store (LPPF) Menarik Dilirik

Lebih lanjut Roy berharap agar pemerintah terus melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Apalagi dengan adanya ancaman resesi global yang diperkirakan akan terjadi pada tahun depan.

Roy meminta pemerintah tetap melanjutkan berbagai program perlindungan sosial kepada masyarakat, termasuk juga untuk pegawai ritel. Hal ini untuk tetap menjaga daya beli masyarakat.

Selain itu, Aprindo berharap agar tidak ada kenaikan pajak yang dilakukan pemerintah daerah (Pemda) misal kenaikan pajak reklame atau lainnya.

"Harapan kami alokasi PEN bagi masyarakat dan ritel juga bisa menjadi bagian sektor prioritas kelanjutan alokasi dana PEN," tutur Roy.

Dihubungi secara terpisah, Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan, Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Ajib Hamdani mengatakan, selama 3 (tiga) tahun ini, kinerja ekonomi mengalami tekanan yang luar biasa.

Sejak akhir Februari 2020, diterpa pandemi covid-19, dan kemudian tahun 2022, ketika covid melandai, ekonomi global mengalami kontraksi termasuk konflik Rusia-Ukraina. Lalu, rantai pasok global mengalami tekanan dan memberi sentimen negatif terhadap ekonomi nasional.

Tetapi pemerintah diuntungkan dengan keleluasaan fiskal melalui Undang-undang nomor 2 tahun 2020 tentang stabilitas sistem keuangan karena pandemi, yang bisa membuat struktur APBN defisit melebihi 3% dari PDB.

Baca Juga: Mengekor Kenaikan Harga BBM, Harga Berbagai Barang dan Tarif Jasa Ikut Menanjak

Sehingga daya beli masyarakat terus tertopang dengan program bansos, dan neraca belanja pemerintah masih bisa stabil. Bahkan Indonesia termasuk negara yang paling cepat rebound ekonominya, dibandingkan negara lain.

"Untuk ke depan, pemerintah harus kembali fokus dengan program transformasi ekonomi dan menggunakan seluruh instrumen fiskal dan moneternya agar ekonomi Indonesia bisa konsisten tumbuh positif. Sektor pangan dan manufaktur akan jadi backbone. Sektor pertambangan harus diakselerasi untuk hilirisasinya," jelas Ajib.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .