Tiga tahun proyek infrastruktur Jokowi



World Economic Forum (WEF)  kembali merilis peringkat daya saing negara lewat laporan Global Competitiveness Index (GCI) 2017-2018. Secara mengejutkan, peringkat Indonesia melonjak dari posisi 41 ke 36.

GCI dihitung berdasarkan 12 pilar, yaitu: institusi, infrastruktur, lingkungan makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, pembangunan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar, kecanggihan bisnis dan inovasi.

Dari 12 pilar penilaian ini, hampir semua pilar, Indonesia mengalami perbaikan, kecuali pendidikan tinggi dan pelatihan yang turun satu peringkat dan inovasi yang stagnan pada posisi 31. Dan, kenaikan tersebut salah satunya didorong oleh komitmen pemerintah membangun infrastruktur.


Harus diakui, pemerintahan Jokowi merupakan pemerintah yang paling agresif membangun infrastruktur. Buktinya, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur naik signifikan dalam tiga tahun terakhir ini.

Tahun 2013, alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur  Rp 155,9 triliun (10,2% dari APBN) meningkat menjadi Rp 387,3 triliun (18,6% dari APBN) pada tahun 2017. Tak kepalang, selama tiga tahun, Presiden Jokowi sudah mengalokasikan Rp 957,1 triliun untuk infrastruktur.

Agar pembangunan infrastruktur tersebut berkelanjutan, pemerintah telah menyusun Program Strategis Nasional (PSN). Terdiri dari 245 proyek pembangunan dan dua program strategis yang menyebar di 15 sektor. Diperkirakan program ini menghabiskan dana Rp 4.197 triliun. Sokongan dana tersebut didapat dari APBN sebesar Rp 525 triliun, BUMN/BUMD senilai Rp 1.258 triliun dan swasta mencapai sekitar Rp 2.414 triliun.

Tiga tahun sudah berjalan, seperti apa persoalan dari program tersebut. Rupanya, persoalan utama datang dari kemampuan fiskal pemerintah. Menggenjot pembangunan infrastruktur lewat APBN, ada trade off untuk pembiayaan pembangunan lain seperti pembangunan sosial, subsidi dan pemulihan lingkungan.

Yang langsung dipangkas adalah belanja subsidi. Padahal selama pemerintahan SBY, subsidi menjadi ikon belanja pemerintah. Dampak pengurangan subsidi ini memukul masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Daya beli turun, kendati risikonya tak berdampak sistemik.

Alternatif pembiayaan

Supaya tak menambah beban penderitaan rakyat kecil, pemerintah mempercepat penyaluran anggaran perlindungan sosial. Tak hanya memperluas cakupan, tapi juga meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan. Sayang, dampaknya tak signifikan mempengaruhi daya beli.

Justru, risiko fiskal semakin lebar karena penerimaan pajak yang menyokong sumber penerimaan negara loyo. Realisasi penerimaan perpajakan selalu di bawah target. Hingga September, realisasinya baru 60% dari target.

Siraman utang tentu menjadi solusi menutupi lemahnya penerimaan perpajakan. Obral Surat Berharga Negara (SBN) dilakukan di pasar keuangan. Termasuk mencairkan komitmen utang yang bersifat bilateral maupun multilateral. Selama tiga tahun, jumlah utang membengkak hingga Rp 1.062 triliun.

Tak sanggup menggendong beban utang. Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengirim surat ke PT PLN agar merevisi lagi rencana pembangunan listrik 35.000 megawatt. Instruksinya jelas, kemampuan fiskal pemerintah dan PLN dalam kondisi waspada. Dan, program pembangunan infrastruktur harus dievaluasi kembali dan disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah dan BUMN.

Ketepatan pembangunan infrastruktur juga masih menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah Jokowi. Target utama infrastruktur adalah interkoneksi antar-daerah untuk menurunkan biaya logistik dan perbaikan akses ekonomi terutama masyarakat desa yang berbasis agraris.

Faktanya, jalan yang dibangun banyak jalan tol. Ini tidak ada kaitan dengan penurunan biaya logistik. Justru yang menikmati infrastruktur adalah kelompok masyarakat menengah atas.

Cita-cita mewujudkan tol laut, yang sebenarnya lebih strategis mengurai masalah logistik belum berjalan optimal. Walaupun, Jokowi sudah berkali-kali mengintruksikan kepada jajarannya, tetap saja belum mampu memperbaiki struktur biaya logistik yang tinggi.

Beberapa proyek infrastruktur yang dibangun juga mendapat perlawanan kuat dari masyarakat setempat, seperti kasus pembangunan pabrik semen di Rembang, pembangunan bandara Kulonprogo, pembangunan tol trans Jawa dan trans Sumatra, dan pembangunan PLTU Cirebon. Penyebabnya, penanganan ganti rugi lahan yang buruk oleh pemerintah serta tidak memperhitungkan dampak lingkungan.

Dalam sisa dua tahun pemerintahan Jokowi (jika tidak terpilih lagi), apa yang perlu dilakukan pemerintah supaya program infrastruktur berjalan optimal?

Pertama, mempertimbangkan kembali target pembangunan infrastruktur dengan kemampuan fiskal pemerintah. Menggenjot pembangunan infrastruktur tentu pekerjaan besar agar daya saing Indonesia meningkat. Tapi, dengan kondisi fiskal yang compang-camping seperti saat ini sebaiknya pemerintah memberikan prioritas yang tepat. Salah satunya fokus pada pembangunan irigasi dan tol laut.

Kedua, mencari alternatif instrumen pembiayaan infrastruktur selain melalui anggaran negara. Pembangunan infrastruktur merupakan tanggung jawab bersama stakeholder pembangunan. Tak bisa hanya ditumpukan kepada pemerintah.

Untuk itu, perlu mendesain model kerjasama pembiayaan antara pemerintah dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Selain itu, memperdalam instrumen pembiayaan di pasar modal untuk menarik minat investor berinvestasi di proyek infrastruktur. Misalnya menggunakan model Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA).

Ketiga, pembangunan infrastruktur harus menyentuh masyarakat bawah, berbasis pedesaan dan agraris. Supaya target utama pembangunan infrastruktur dapat tercapai yaitu mengurangi ketimpangan dan fokus pada kelompok yang bisa mengurangi ketimpangan.              

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi