TikTok Dilarang Bisnis Medsos dan E-commerce Bersamaan, Begini Tanggapan Bukalapak



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu pelaku e-commerce, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) dan pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda angkat bicara mengenai isu penolakan TikTok untuk berbisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan.

Seperti diketahui, penolakan tersebut diutarakan oleh Menteri Koperasi dan UKM (MekopUKM) Teten Masduki. Hal ini seiring dengan penolakan serupa terhadap TikTok yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan India.

Teten menyebut, TikTok boleh saja berjualan tetapi tidak bisa disatukan dengan media sosial. Sebab, berdasarkan riset, aktivitas orang berbelanja online dinavigasi dan dipengaruhi oleh perbincangan di media sosial. Belum lagi, sistem pembayaran dan logistik berpotensi dipegang oleh TikTok secara keseluruhan, sehingga rawan monopoli.


Menanggapi hal tersebut, AVP Media & Communication Bukalapak, Fairuza Ahmad Iqbal, berpandangan pihaknya akan selalu mengikuti perkembangan terkait langkah dan kebijakan pemerintah terhadap industri digital tanah air.

Baca Juga: TikTok Dilarang Bisnis Media Sosial dan E-commerce Bersamaan, Begini Tanggapan idEA

"Bukalapak juga akan terus berupaya menciptakan inovasi dan solusi baru dengan menghadirkan kapabilitas teknologi bagi para UMKM yang tergabung bersama kami, sehingga dengan teknologi yang kami hadirkan mereka mampu mengoptimalkan usaha mereka," ungkap Fairuza saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (7/9).

Asal tahu saja, menurut DSInnovate, pasar social commerce di Indonesia tahun 2022 mencapai US$ 8,6 miliar. Angka ini diperkirakan bakal terus tumbuh dengan pertumbuhan tahunan sekitar 55%. Lalu di tahun 2028 nanti, pasar social commerce diproyeksikan bisa menyebut US$ 86,7 miliar.

Menanggapi persaingan bisnis social commerce yang mengambil pasar e-commerce. Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpandangan social commerce merupakan sesuatu yang tidak dapat dilarang sepenuhnya karena sejatinya interaksi di sosial media tidak dapat diatur apakah mau jual beli atau interaksi lainnya.

"Maka seharusnya ada pengaturan untuk social commerce yang disamakan dengan e-commerce karena prinsipnya kan sama-sama jualan menggunakan internet," kata Nailul ke Kontan.co.id, Kamis (7/9).

Nailul menerangkan, pengenaan pajak dan sebagainya menjadi krusial diterapkan di social commerce. Tahun 2019, Nailul sudah sampaikan bahwa social commerce ini akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi. Akan banyak loophole di situ.

Baca Juga: Akumindo Ungkap Alasan Sebenarnya Tolak Tiktok Shop

Terkait dengan e-commerce, Nailul menyampaikan pangsa pasar tetap lebih besar di e-commerce. Terlebih di Shopee dan Tokopedia. Keduanya mempunyai Gross Merchandise Value (GMV) yang besar.

Menurutnya, TikTok Shop baru bisa bersaing dengan ecommerce layer dua seperti Bukalapak, Lazada, dan lainnya. Tapi dengan bakar uang saat ini, TikTok bisa menggeser Lazada sebagai online market yang digemari.

Adapun, kunjungan masyarakat ke situs e-commerce saat ini berkurang. Nailul menilai, ada dua hal, promo di platform e-commerce yang jadi terbatas, di satu sisi TikTok tengah ramai bonus terutama live shopping-nya.

"Dua hal itu yang menyebabkan permintaan belanja barang di e-commerce turun. Faktor lainnya adalah mulai bebasnya mobilitas masyarakat membuat belanja ke mal kembali," pungkas Nailul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .