Tim pembentukan Holding Geothermal dibentuk, ini catatan pengamat Unpad



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah berupaya menggenjot bisnis panas bumi (geothermal). Menteri BUMN Erick Thohir pun sudah membentuk tim percepatan pengembangan bisnis geothermal.

Dalam salinan yang didapatkan Kontan.co.id, Erick telah menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-71/MBU/03/2021. Beleid yang diteken Erick pada 12 Maret 2021 itu berisi tentang pembentukan tim percepatan pengembangan bisnis geothermal Indonesia.

Tim itu terdiri atas Tim Pengarah (steering committee) yang diketuai Erick Thohir. Wakil Menteri Keuangan dan Wakil Menteri BUMN I masuk ke dalam steering committe. Lalu, ada Organizing Committee (OC) yang dipimpin Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Direktur Utama PT PLN (Persero) dan Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) masuk menjadi anggota OC.


Selanjutnya, ada Project Management Office (PMO) yang diketuai oleh Direktur Strategi, Portofolio & Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero). Anggota dari PMO tersebut antara lain diisi oleh Direktur Perencanaan Korporat PT PLN (Persero), Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI), Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dan Direktur Operasi dan Pengembanagn Niaga PT Geo Dipa Energi (Persero).

Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa masa kerja tim terhitung sejak tanggal ditetapkannya Kepmen BUMN ini, sampai dengan 31 Desember 2021. Kepmen BUMN itu mengatur, dalam hal terjadi perubahan tugas dan/atau susunan keanggotaan tim, dilakukan dengan Keputusan Menteri yang ditetapkan oleh Wakil Menteri BUMN I atas nama Menteri BUMN.

Meski tidak mengatur secara langsung soal pembentukan holding, namun Kepmen BUMN No.SK-71/2021 itu tampaknya menjadi langkah untuk membentuk holding BUMN panas bumi. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, Wakil Menteri I BUMN Pahala Mansury belum menjawab permintaan konfirmasi Kontan.co.id.

Sebelumnya, Pahala menyampaikan bahwa pembentukan holding BUMN panas bumi ditarget rampung pada tahun ini. Holding ini terdiri dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Geo Dipa Energi (Persero), dan PT PLN Geothermal. Penggabungan aset ketiganya diklaim akan menjadi yang terbesar di dunia dalam installed capacity pembangkit geothermal.

Pengembangan aset panas bumi plat merah itu pun masuk ke dalam pipeline BUMN yang sedang dikaji untuk mencari pendanaan lewat penawaran saham alias Initial Public Offering (IPO), atau melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) pada Lembaga Pengelola Investasi (LPI) - Indonesia Investment Authority (INA).

"Upaya peningkatan permodalan anak usaha dan subholding BUMN sejalan dengan pengembangan usaha. Bisa dilakukan melalui IPO ataupun melalui INA/LPI. Beberapa yang dalam pipeline adalah subholding Pertamina, termasuk pengembangan aset-aset geothermal," kata Pahala kepada Kontan.co.id, Senin (22/3).

Pihak Pertamina maupun PLN juga belum menjawab pertanyaan Kontan.co.id. Yang pasti, Direktur Utama Geo Dipa Riki Ibrahim mengatakan, saat ini proses pembentukan holding BUMN panas bumi masih dalam pembahasan.

"Saat ini masih studi mendalam SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Pemerintah sangat mendorong BUMN yang ada saat ini dibuat holding masing-masing agar lebih baik hasilnya," katanya kepada Kontan.co.id, Kamis (1/4).

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai bahwa saat ini tantangan pengembangan panas bumi di Indonesia ialah terkait dengan harga listrik. Dia berpandangan, holding panas bumi diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan mendorong efisiensi eksplorasi serta pengembangan panas bumi di Indonesia.

"Dengan demikian, panas bumi bisa dikembangkan dengan biaya yang lebih rendah di masa depan," sebut Fabby.

Dari ketiga perusahaan BUMN yang akan digabung dalam holding, masing-masing memiliki kekuatan tersendiri. Dalam hal operasi dan penguasaan cadangan, yang terbesar adalah PGE, lalu Geo Dipa yang mendapatkan penugasan dari pemerintah untuk eksplorasi bersama dengan SMI.

Adapun PLN Geothermal dan Gas yang lebih baru dan masih perlu pengembangan portofolio. "Menurut saya kalau experience PGE bisa digabungkan dengan keunikan perusahaan lain maka bisa menekan risiko investasi di panas bumi, memperkuat sumber daya manusia dan pengelolaan panas bumi," sambung Fabby.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjajaran Yayan Satyaki memberikan catatan, holding panas bumi tidak akan secara otomatis menanggulangi masalah pengembangan panas bumi di Indonesia. Saat ini, persoalan utama ialah mengenai tingkat risiko panas bumi yang relatif tinggi.

Investasi geothermal pun tidak mudah karena diperlukan akurasi yang tinggi untuk menentukan titik-titik panas bumi yang paling optimum dan mencapai nilai yang ekonomis. Hambatan pengembangan terjadi karena keekonomian harga uap panas bumi di Indonesia masih tidak menarik investor. 

"Ini tidak mudah. Jangan anggap bahwa panas bumi ini walaupun potensi-ya banyak dapat digunakan sebagai proven energy.  Perlu perhitungan-perhitungan tertentu berdasarkan risiko dan keekonomisannya (return)," kata Yayan saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (1/4).

Aturan mengenai harga pengembangan panas bumi di Indonesia masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan Filipina, New Zealand, apalagi Amerika Serikat. Dalam hal ini, pembenahan dari sisi regulasi menjadi urgent.

"Menurut hemat saya, dengan Geothermal Holding atau tidak sebetulnya BUMN yang ada saja asal dikelola dengan baik akan cukup. Tapi kita ketahui BUMN relatif tidak agile sebagai perusahaan karena masih kental dengan birokrasi dan kepentingan politik," sebut Yayan.

Apalagi, struktur pasar energi di Indonesia tidak begitu baik karena pasar yang masih timpang dengan single market yang tidak efisien. Meski begitu, Yayan memahami, holding panas bumi bisa menjadi salah satu upaya pemerintah untuk membagi risiko dari investasi serta membangun kapitalisasi sektor geothermal.

Namun dia mengingatkan, share risiko tidak akan inline jika insentif ekonomi tidak berjalan. Yayan memberikan gambaran, dalam studi investasi panas bumi di Indonesia, IRR yang harus mencapai keekonomisan untuk investasi panas bumi masih tinggi di atas 10%-15% sehingga berdampak pada mahalnya harga uap.

"Sedangkan di negara-negara lain IRR untuk renewable berada di bawah 10% bahkan ada yang sampai 5%-6%," ujar Yayan.

Adapun mengenai pendanaan, Yayan menilai investasi geothermal harus bersifat portofolio, sehingga dapat melingkupi investasi panas bumi yang high risk dan medium return. Portofolio lebih menjamin pendanaan akan diprioritaskan berdasrkan ranking risiko.

Alhasil, pembiayaan lewat SWF dinilai memberikan peluang yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam, ketimbang melalui IPO.

"Idealnya, transparansi ini dapat di-share ke investor agar mengetahui lebih baik posisi investasi geothermal di Indonesia. Mungkin SWF bisa lebih baik karena kemungkinan interest investor akan me-rangking terhadap risk dan return dari portofolio investasi," pungkas Yayan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini