Tim Penyelamat Berharap Ada Keajaiban Korban Selamat dari Gempa Turki



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tim pencarian dan penyelamatan korban bencana gempa bumi bermagnitudo 7,8 di Turki terus bekerja keras

Mereka terus mencari korban selamat yang mungkin masih tertimbun puing-puing gedung di beberapa provinsi di Turki. 

Tim berupaya untuk mencari korban yang anggota keluarganya masih hilang dan mereka masih memiliki harapan orang-orang yang dicintai akan ditemukan baik keadaan hidup maupun meninggal dunia. Korban yang ditemukan telah meninggal dunia bisa di kuburkan dengan layak.


"Maukah Anda berdoa bagi kami agar bisa menemukan mayat? Kami lakukan ... untuk mengantarkan jenazah ke keluarga," kata operator buldoser Akin Bozkurt saat mesinnya mencakar puing-puing bangunan yang hancur di kota Kahramanmaras seperti dikutip kantor berita Reuters.

"Anda menemukan tubuh dari berton-ton puing. Keluarga mereka menunggu dengan harapan," kata Bozkurt. "Mereka ingin mengadakan upacara penguburan. Mereka menginginkan korban dikuburkan."

Menurut tradisi Islam, jenazah harus dikuburkan secepat mungkin.

Kepala Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat Turki, Yunus Sezer, mengatakan upaya pencarian dan penyelamatan sebagian besar akan berakhir pada Minggu (19/2) malam.

Badan Penanggulangan Bencana Turki AFAD mencatat lebih dari 46.000 orang tewas setelah gempa berkekuatan 7,8 melanda Turki dan Suriah pada 6 Februari 2023. 

Jumlah korban diperkirakan akan meningkat karena masih banyak korban yang hilang. Selain itu gempa telah menghancurkan sekitar 345.000 apartemen di Turki.

Baik Turki maupun Suriah tidak mengatakan berapa banyak orang yang masih hilang setelah gempa.

Dua belas hari setelah gempa melanda, para pekerja dari Kyrgyzstan mencoba menyelamatkan satu keluarga Suriah beranggotakan lima orang dari puing-puing sebuah bangunan di Antakya di selatan Turki.

Tiga orang, termasuk seorang anak, diselamatkan masih dalam keadaan hidup. Ibu dan ayahnya selamat, tetapi anak itu kemudian meninggal karena dehidrasi. Selain itu seorang kakak perempuan dan saudara kembar tidak berhasil diselamatkan.

"Kami mendengar teriakan saat kami menggali hari ini, satu jam yang lalu. Saat kami menemukan orang yang masih hidup, kami selalu bahagia," kata Atay Osmanov, anggota tim penyelamat, kepada Reuters.

Sepuluh ambulans menunggu di jalan terdekat yang diblokir untuk lalu lintas untuk memungkinkan pekerjaan penyelamatan.

Para pekerja meminta keheningan total dan semua orang berjongkok atau duduk saat tim naik ke atas puing-puing bangunan tempat keluarga itu ditemukan untuk mendengarkan suara lagi menggunakan detektor elektronik.

Saat upaya penyelamatan berlanjut, seorang pekerja berteriak ke reruntuhan: 

"Tarik napas dalam-dalam jika Anda bisa mendengar suara saya."

Pascagempa pejabat kesehatan mengkhawatirkan kemungkinan penyebaran infeksi dengan rusaknya infrastruktur sanitasi.

Organisasi Kesehatan Dunia WHO memperkirakan sekitar 26 juta orang di Turki dan Suriah membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Hari ini Minggu (19/2) Menteri Luar Negeri Antony Blinken dijadwalkan akan tiba di Turki untuk membahas bantuan Washington bagi Ankara.

Sementara itu di Suriah, yang telah melaporkan lebih dari 5.800 kematian akibat gempa Senin (6/2). 

Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan pihak berwenang di barat laut negara itu memblokir akses ke daerah tersebut.

"Pemblikiran itu menghambat operasi kami. Itu harus segera diperbaiki," kata Direktur WFP David Beasley kepada Reuters di sela-sela Konferensi Keamanan di Munich Jerman.

Sebagian besar korban jiwa di Suriah berada di barat laut, wilayah yang dikuasai oleh pemberontak yang berperang dengan pasukan yang setia kepada Presiden Bashar al-Assad.

"Waktu hampir habis dan kami kehabisan uang. Operasi kami menghabiskan sekitar US$ 50 juta per bulan untuk respons gempa saja, jadi kecuali Eropa menginginkan gelombang baru pengungsi, kami perlu mendapatkan dukungan yang kami butuhkan," tambah Beasley.

Ribuan warga Suriah yang mencari perlindungan di Turki dari perang saudara telah kembali ke rumah mereka di zona perang - setidaknya untuk saat ini.

Editor: Syamsul Azhar