JAKARTA. Pengalihan kepemilikan areal tambang timah bekas PT Koba Tin dari investor asing, rupanya tidak menjamin Indonesia akan segera memperoleh manfaat. Sebab, semenjak lepas dari kontrak karya (KK) milik anak usaha Malaysia Smelting Corporation Berhad (MSC) pada Oktober 2013 silam, hingga sekarang areal tambang itu masih terbengkalai dan belum beroperasi secara normal.Persoalan yang muncul saat ini justru adanya tarik menarik mengenai pembagian saham di perusahaan calon pengelola lahan eks PT Koba Tin. PT Timah Tbk, dan tiga badan usaha milik daerah (BUMD) masih sama-sama bersikeras ingin menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Sukrisno, Direktur Utama PT Timah mengatakan, perkembangan pengelolaan lahan eks Koba Tin masih stagnan lantaran belum adanya keputusan kepemilikan saham antara perusahaannya dan tiga BUMD. "Masalah Koba Tin belum ada keputusan, selalu berubah-ubah keinginan pemda untuk kepemilikan sahamnya," katanya, pekan lalu.Awal tahun ini, PT Timah bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, dan Provinsi Bangka Belitung sepakat mendirikan PT Timah Bemban Babel (TBB). Lahan eks PT Koba Tin yang akan dikelola TBB tersebut mencapai seluas 41.344,26 hektare.Meski sudah sepakat membentuk anak usaha, urusan pembagian porsi saham justru berjalan alot. Semula, perencanaan porsi saham yaitu PT Timah memegang 55% dan BUMD masing-masing 15%. Kemudian kesepakatan berubah yaitu ketiga BUMD ingin masing-masing 20%, sehingga Timah menjadi tidak mayoritas, dengan kepemilikan saham sebesar 40%.Rupanya, pembahasan porsi saham masih belum final. Sukrisno bilang, dalam rapat terakhir pada Juni silam, BUMD malah mengusulkan peningkatan kepemilikannya menjadi totalnya 80%. "Setiap dilakukan pertemuan, selalu berubah, sekarang permintaannya 80% dan kami hanya diberikan 20%, lama-lama bisa PT Timah tidak dapat saham sama sekali," kata dia.Dia berharap, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera turun tangan untuk menuntaskan persoalan penetapan kepemilikan saham. Selain itu, pemerintah juga diminta segera menerbitkan perubahan status lahan dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).Bahkan, Sukrisno khawatir kalau masalah ini tidak segera diselesaikan jumlah cadangan timah di areal tersebut dapat menyusut karena tinggi frekuensi penambangan ilegal. "Jangan sampai ketika nanti kami mau validasi tiba-tiba timahnya sudah habis dikeruk, ya, bubar semua rencananya," kata Sukrisno.Dede I Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM justru tidak memasalahkan jika BUMD yang mayoritas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Timah khawatir BUMD kuasai penuh saham Koba Tin
JAKARTA. Pengalihan kepemilikan areal tambang timah bekas PT Koba Tin dari investor asing, rupanya tidak menjamin Indonesia akan segera memperoleh manfaat. Sebab, semenjak lepas dari kontrak karya (KK) milik anak usaha Malaysia Smelting Corporation Berhad (MSC) pada Oktober 2013 silam, hingga sekarang areal tambang itu masih terbengkalai dan belum beroperasi secara normal.Persoalan yang muncul saat ini justru adanya tarik menarik mengenai pembagian saham di perusahaan calon pengelola lahan eks PT Koba Tin. PT Timah Tbk, dan tiga badan usaha milik daerah (BUMD) masih sama-sama bersikeras ingin menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tersebut. Sukrisno, Direktur Utama PT Timah mengatakan, perkembangan pengelolaan lahan eks Koba Tin masih stagnan lantaran belum adanya keputusan kepemilikan saham antara perusahaannya dan tiga BUMD. "Masalah Koba Tin belum ada keputusan, selalu berubah-ubah keinginan pemda untuk kepemilikan sahamnya," katanya, pekan lalu.Awal tahun ini, PT Timah bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, dan Provinsi Bangka Belitung sepakat mendirikan PT Timah Bemban Babel (TBB). Lahan eks PT Koba Tin yang akan dikelola TBB tersebut mencapai seluas 41.344,26 hektare.Meski sudah sepakat membentuk anak usaha, urusan pembagian porsi saham justru berjalan alot. Semula, perencanaan porsi saham yaitu PT Timah memegang 55% dan BUMD masing-masing 15%. Kemudian kesepakatan berubah yaitu ketiga BUMD ingin masing-masing 20%, sehingga Timah menjadi tidak mayoritas, dengan kepemilikan saham sebesar 40%.Rupanya, pembahasan porsi saham masih belum final. Sukrisno bilang, dalam rapat terakhir pada Juni silam, BUMD malah mengusulkan peningkatan kepemilikannya menjadi totalnya 80%. "Setiap dilakukan pertemuan, selalu berubah, sekarang permintaannya 80% dan kami hanya diberikan 20%, lama-lama bisa PT Timah tidak dapat saham sama sekali," kata dia.Dia berharap, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera turun tangan untuk menuntaskan persoalan penetapan kepemilikan saham. Selain itu, pemerintah juga diminta segera menerbitkan perubahan status lahan dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).Bahkan, Sukrisno khawatir kalau masalah ini tidak segera diselesaikan jumlah cadangan timah di areal tersebut dapat menyusut karena tinggi frekuensi penambangan ilegal. "Jangan sampai ketika nanti kami mau validasi tiba-tiba timahnya sudah habis dikeruk, ya, bubar semua rencananya," kata Sukrisno.Dede I Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM justru tidak memasalahkan jika BUMD yang mayoritas.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News