Timah memperkuat bisnis non-timah



JAKARTA. PT Timah Tbk sepertinya sudah sampai pada kesimpulan; ke depan tidak bisa hanya mengandalkan bisnis pertambangan timah. Meski bisnis tersebut masih menjadi tulang punggung, perusahaan tersebut bersiap memperbesar bisnis di luar bisnis pertambangan timah mulai tahun depan.

Menurut laporan keuangan per 30 September 2015, penjualan logam timah dan tin solder tercatat Rp 5,02 triliun. Nilai itu setara dengan kontribusi 97,67% terhadap total pendapatan usaha Rp 5,14 triliun. Barulah 2,33% sisanya, kontribusi keroyokan bisnis lain. (lihat infografis).

Nah, di antara beberapa diversifikasi bisnis yang dikembangkan PT Timah adalah  bisnis mineral tanah jarang. Sejak mulai mengembangkan bisnis itu tahun 2014, mereka masih dalam tahap mengoperasikan pabrik percontohan alias pilot plant. Estimasi produksi pabrik itu 15 ton tanah jarang per tahun.


Agar komersialisasi mineral tanah jarang semakin mendekati kenyataan, PT Timah pun semakin serius mengawal pembangunan pabrik pengolahan tanah jarang. Perusahaan berkode TINS di Bursa Efek Indonesia tersebut akan mengalokasikan dana belanja modal alias capital expenditure (capex) lebih dari tahun ini, atau di atas Rp 1 triliun.

Namun, peruntukan belanja modal tak cuma untuk pengembangan bisnis mineral tanah jarang. "Untuk replacement dari bisnis pertambangan lain, yang sudah diproduksi juga agar bisa meningkat," ujar Direktur Utama PT Timah Tbk Sukrisno, Selasa (10/11).

Beberapa diversifikasi PT Timah di luar bisnis pertambangan timah seperti bisnis jasa galangan kapal. Bisnis ini mereka lakoni melalui anak perusahaan bernama PT Dok dan Perkapalan Air Kantung.

Bisnis lain, adalah di bidang kesehatan melalui Rumah Sakit Bakti Timah. Mulai Agustus 2015 kemarin, PT Timah resmi mengambil alih kepemilikan mayoritas atas rumah sakit tersebut dari Yayasan PT Timah.

Ada pula bisnis rame-rame antara PT Timah bersama dua BUMN yakni PT Adhi Karya Tbk dan PT Wijaya Karya  Tbk. Ketiganya menggarap bisnis properti dengan memanfaatkan aset lahan nganggur. Sebuah perusahaan dibentuk untuk menggawangi bisnis itu, yakni PT Timah Adhi Wijaya.

Meski akan mencurahkan banyak perhatian ke bisnis non pertambangan timah, PT Timah tak lantas mengabaikan bisnis pertambangan timah. Dominasi bisnis timah hingga lebih dari 90% tadi membikin perusahaan itu masih tergantung dengan bisnis andalan itu.

Meski harga timah dunia masih lesu, PT Timah menilai ada dua katalis positif bagi bisnis mereka tahun depan. Pertama, penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 33/2015 yang mulai 1 November 2015.

Beleid tentang tata niaga timah itu mengatur kejelasan asal-usul penambangan bijih timah. Bijih timah harus berasal dari penambangan yang sudah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP). "Penambangannya diperketat sehingga tidak ada lagi penyelundupan-penyelundupan," ujar Sukrisno

Berbekal aturan tersebut, PT Timah berharap bisa sekaligus menertibkan penambangan ilegal di area pertambangan mereka. Selanjutnya, mereka berharap bisa menjalin kemitraan dengan para penambang ilegal yang sudah ditertibkan tadi.

Kedua, proyeksi perbaikan harga timah dunia. Manajemen PT Timah berharap ekonomi global bisa membaik dari merembet ke dalam negeri. Harapan mereka, harga timah dunia bisa mencapai harga rata-rata US$ 20.000 per ton tahun depan.

Harapan lebih jauh, PT Timah berniat bahwa Indonesia bisa turut andil dalam menentukan harga timah dunia. "Sekarang belum waktunya, kan bursa kita baru berdiri tapi dua tahun lagi lah, mungkin," harap Sukrisno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan