Timah mulai menampung produksi tambang rakyat



JAKARTA. PT Timah Tbk  (TINS) akan menjalankan perintah Presiden Joko Widodo untuk menampung bijih timah hasil penambangan rakyat di Bangka Belitung. Sebelumnya TINS enggan menampung hasil penambangan rakyat karena kegiatan mereka ilegal.

Kegiatan penambang itu ilegal karena mereka melakukan penambangan di lahan milik TINS. Namun, setelah mengunjungi penambangan timah di Bangka Belitung pada Kamis (25/6) lalu, Presiden meminta Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan Direksi TINS supaya mengubah kegiatan penambangan ilegal para penambang rakyat itu menjadi legal. Caranya dengan membeli hasil produksi penambangan rakyat.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Tbk Agung Nugroho menyatakan, perusahaan tambang plat merah ini baru bisa menampung bijih timah hasil tambang rakyat, dengan syarat alat produksi timah, yakni ponton isap produksi (PIP) sudah mendapatkan izin Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dari Badan Lingkungan Hidup Daerah.


Ia menyebutkan, saat ini penambangan rakyat itu dicap  ilegal karena menggunakan peralatan penambangan ilegal. Akibatnya ada potensi kecelakaan kerja dan kerusakan lingkungan akibat penambangan rakyat. "Kami menyiapkan PIP dan sedang menunggu izin Amdalnya. Agustus 2015 izinnya mungkin selesai," ucapnya kepada KONTAN, Senin (13/7).

Agung bercerita, sebenarnya, PT Timah sudah mensosialisasikan PIP sejak tahun 2012 lalu kepada pemerintah daerah maupun kepada penambang rakyat. Namun, izin Amdal itu baru direspon dua minggu kemarin, setelah Presiden Joko Widodo blusukan ke lokasi penambangan timah di Bangka Belitung.

Libatkan ribuan orang

Dengan demikian, apabila Amdal sudah keluar, perusahaan ini siap menjalankan instruksi presiden untuk menampung hasil penambangan rakyat itu. "Namun kami bukan membeli hasil bijih timahnya, kami hanya menampung dan menjualkan," jelasnya.

Agung membeberkan, per awal tahun ini, jumlah penambang ilegal di laut diperkirakan mencapai 1.640 unit kapal. Satu unit kapal terdiri dari empat orang penambang.

Alhasil, jumlah penambang rakyat yang dituduh ilegal itu  melibatkan sekitar 6.560 orang. Menurut Agung, produksi mereka minimal 10 kilogram per hari per kapal atau total 16 ton per hari.

Setahun, total produksi mereka mencapai hampir 6.000 ton. "Produksi mereka tanpa ada royalti dan pajak lainnya. Kalau memproduksi lebih banyak, berapa kerugian negara?" tandas Agung.

Nah, instruksi presiden ini  mengubah status mereka menjadi mitra PT Timah Tbk dengan pola imbal jasa. Pembiayaan jual-beli serta penentuan harganya ditentukan  berdasarkan kesepakatan antar kedua pihak.

Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana berharap tidak terjadi kesalahpahaman antara PT Timah Tbk dengan masyarakat sekitar tentang kesepakatan ini. Sebab, masyarakat juga memiliki hak untuk menambang. Namun selama ini mereka terbentur oleh  perizinan penambangan.

"Sekarang bagaimana menempatkan agar masyarakat tidak dianggap sebagai penambang ilegal, itu bagus, kan itu instruksi Presiden agar bisa ditindaklanjuti," urainya.

Dadan melanjutkan, hal ini jangan dianggap sebagai melegalkan dari sesuatu kegiatan yang tidak legal. Secara bertahap, pertambangan di wilayah tersebut harus diberikan izin yang dilakukan kerjasama dengan PT Timah Tbk. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto