Timah sulit naik meski PT Timah stop penjualan



JAKARTA. Prospek harga timah dunia tetap negatif (bearish) meski para produsen dari Indonesia mengurangi ekspor. Kebijakan negara eksportir lain yang justru membuka keran ekspor menjadi penyebab harga timah susah bersinar di tahun ini. 

Data Bloomberg, Senin (16/2), harga timah tiga bulan di Bursa Metal London (LME) terkoreksi 0,82% ke level US$ 18.125 per metrik ton. Koreksi ini terjadi sehari setelah PT Timah Tbk (TINS), produsen terbesar dari Indonesia, menghentikan penjualan timah di pasar spot. 

TINS memandang harga timah yang saat ini di kisaran US$ 18.000 per metrik ton sudah di bawah toleransi. Manajemen TINS, sebelumnya, sudah menargetkan harga timah yang ideal di tahun ini di kisaran US$ 22.000-US$ 22.500 per metrik ton. 


Ibrahim, Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka menyatakan, keputusan TINS ini tentu bakal membuat pasokan timah dari Indonesia berkurang. Sayangnya, hal itu tidak lantas membuat persediaan timah global menurun. 

Persediaan timah di pasar dunia justru diyakini akan tetap melimpah lantaran negara eksportir lain seperti Myanmar justru gencar melakukan ekspor. "Para pembeli mengalihkan pembelian yang tadinya dari Indonesia menjadi ke Myanmar," kata Ibrahim, Selasa (17/2). 

Kondisi tersebut diperparah oleh melemahnya permintaan timah terutama dari China yang merupakan importir terbesar dunia. Negeri Panda ini tengah mengalami perlambatan ekonomi yang tercermin dari proyeksi beberapa institusi terkemuka dunia. 

Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China 2015 menjadi 6,8%. Pada Oktober 2014, IMF masih optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi China akan mencapai 7,1% di 2015. 

Kontraksi ekonomi kian jelas terlihat dari data Produk Domestik Bruto (PDB) China di 2014 yang secara akumulatif tercatat 7,4%. Ini masih di bawah ekspektasi Bank Sentral China yang sebesar 7,5%.

Proyeksi makro ekonomi yang negatif seperti itu memang berpeluang besar menekan permintaan timah dari China. Dengan terus melemahnya permintaan dunia, Ibrahim meyakini harga timah akan terus terkoreksi hingga ke level US$ 17.000 per metrik ton pada Februari-Maret ini. 

"Jika level itu tercapai, harga bisa kembali terkoreksi ke US$ 15.000 per metrik ton, atau terendah dalam sejarah," jelas Ibrahim. Namun, jika ternyata bisa bertahan di atas US$ 17.000 per metrik ton, harga timah akan bergerak konsolidasi di kisaran US$ 17.000-US$ 21.000 per metrik ton. 

Dari sisi teknikal, beberapa indikator pun memberikan sinyal koreksi harga timah. Indikator bollinger band berada 70% di atas bollinger bawah. Pun demikian dengan Moving Average (MA) yang berada 40% di atas bollinger bawah. 

Indikator stochastic cenderung wait and see menunggu perkembangan terutama dari negosiasi Yunani dengan kreditur Zona Euro. Sinyal koreksi bisa sedikit tertekan lantaran Relative Strength Index (RSI) di posisi 60% positif. 

Pekan ini, Ibrahim merekomendasikan jual timah di kisaran US$ 18.000-US$ 18.500 per metrik ton. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan