JAKARTA. Harga minyak semakin mendidih. Suhu geopolitik di Timur Tengah dicemaskan mengganggu pasokan minyak. Maklumlah, sepertiga produksi minyak dunia berasal dari wilayah itu. Kontrak pengiriman minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk September 2012, Jumat (20/7), ditutup senilai US$ 91,83 per barel. Itu pertumbuhan harga sebesar 4,95% dalam sepekan. Sedangkan kontrak pengiriman minyak jenis Brent menanjak 5,33% dalam seminggu minggu menjadi US$ 106,83 per barel. "Kondisi di Iran dan Suriah memburuk, dan meningkatkan risiko geopolitik di wilayah itu," ujar Jason Schenker, President Prestige Economics LLC, kepada Bloomberg.
Sanksi embargo yang dijatuhkan Uni Eropa (UE), menyebabkan penurunan produksi minyak Iran. Kementerian Energi Amerika Serikat (AS) mengkalkulasi, hingga akhir 2012, produksi minyak Iran, akan turun sekitar 1 juta barel per hari. Sedang Suriah memanas karena perang sipil yang terjadi di negara itu. Penutupan Hormuz Pendorong lain harga minyak adalah spekulasi penyaluran stimulus di Amerika Serikat dan China, untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi di tiap negara. Chairman Federal Reserves, Ben Bernanke, pekan lalu, menyatakan, pembuat kebijakan di AS sedang mengkaji kemungkinan menggelontorkan stimulus lanjutan. Langkah itu bertujuan mengurangi angka pengangguran. Analis Senior Askap Futures, Kiswoyo Adi Joe, mengatakan, harga minyak terkoreksi di akhir pekan karena penurunan produksi Iran. Namun beberapa negara Asia dan Eropa masih akan membeli minyak dari Iran. "Hal itu mampu mengangkat harga minyak di pekan ini," ujar dia. Analis Harvest International Futures, Ibrahim, menambahkan, harga minyak masih cenderung menguat. Ia bilang, bila terjadi perang di Suriah, maka Rusia, China, dan Iran akan bergabung di kubu Suriah. Sedang negara-negara Barat bisa membantu pihak oposisi. "Jika ini benar terjadi, aktivitas pengeboran minyak akan kacau,” katanya.