KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang dolar Amerika Serikat (AS) makin kuat. Indeks dolar AS melonjak ke level 106 sejak Jumat (12/4), dan hingga saat ini. Penguatan dolar AS menyusul adanya ketegangan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah. Tak hanya itu, dolar AS juga didukung oleh adanya ekspektasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Alhasil, mata uang euro (EUR) dan poundsterling Inggris (GBP) jatuh ke level terendah terhadap dolar sejak November 2023, dan yen Jepang (JPY) terperosok ke level terlemah dalam 34 tahun. Kurs rupiah (IDR) juga tak berdaya menghadapi dolar AS.
Analis Senior Bank Mandiri, Reny Eka Putri mengatakan penguatan dolar AS disebabkan konflik geopolitik dan ancaman perang Iran - Israel, yang kemudian bisa melibatkan negara-negara lain dan membuat pasar keuangan global kembali diliputi ketidakpastian. Menurutnya, kekacauan di Timur Tengah tersebut diperkirakan bakal terus mendukung dolar AS yang dampaknya bisa melemahkan nilai tukar lainnya termasuk rupiah. “Tercatat indeks dolar meningkat ke level 106, mengindikasikan penguatan USD semakin barlanjut. Kemungkinan The Fed juga masih akan menahan suku bunga tingginya di level 5,5% untuk waktu yang lebih lama lagi,” kata Reny kepada Kontan.co.id, Senin (15/4).
Baca Juga: Rupiah Diprediksi Melemah pada Selasa (16/4), Simak Faktor dan Prospek ke Depannya Ditambah, data-data ekonomi AS seperti inflasi yang kembali meningkat, sehingga dolar AS (USD) dipercaya sebagai
safe haven currency dan kembali diburu pasar. Di sisi lain, pasar keuangan domestik sendiri tengah menikmati libur lebaran lebih dari sepekan yang semakin membuat dolar AS tak terbendung. Reny mengungkapkan, pelemahan rupiah karena Bank Indonesia (BI) belum melakukan intervensi, ditambah lagi tidak adanya data ekonomi dalam negeri yang dirilis selama cuti Idul Fitri. Sedangkan pada perdagangan, Selasa (16/4), rupiah juga diperkirakan masih akan terkoreksi setelah libur panjang lebaran, karena kemungkinan besar market belum kembali normal dan sentimen negatif dari faktor eksternal yang masih tinggi. Sementara itu, Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong mengatakan prospek dolar AS masih cukup bagus hingga saat ini. Menyusul serangkaian data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan, seperti non farm payroll (NFP) dan inflasi. “Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5%
year on year (YoY) pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti - di luar makanan dan energi - stagnan di angka 3,8%,” kata Lukman kepada Kontan.co.id, Senin (15/4). Dengan begitu, Lukman bilang, telah memudarkan prospek pemangkasan suku bunga The Fed dari semula Juni menjadi September 2024 mendatang. “Malah dari ekspektasi investor, BoE dan ECB berpotensi mendahului The Fed untuk memulai siklus pemangkasan suku bunga. Dan tentunya ketidakpastian geopolitik dan perang belakang ini juga mendukung dolar AS sebagai
safe haven dan menekan riskier serta emerging currencies seperti rupiah,” kata Lukman. Lukman menilai perlu segera adanya intervensi dari BI untuk menyelamatkan posisi nilai tukar. Walau posisi suku bunga sudah tinggi, namun BI dipandang memiliki alasan yang cukup kuat untuk kembali mengerek suku bunga seiring kenaikan inflasi. Lukman pun memprediksi, rupiah dalam jangka pendek akan berada dalam rentang Rp 16.000 – Rp 16.500 per dolar AS. Sedangkan yen Jepang diperkirakan berada dalam rentang 150 - 160 terhadap dolar AS, dan EUR diprediksi berada di level 1,000 - 1,0300 “Namun prospek nilai tukar akan sangat bergantung pada intervensi yang dilakukan bank sentral terkait,” imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat