KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) meyakini laju inflasi di sepanjang tahun 2022 bisa berada di bawah 6%. Optimisme ini melihat capaian inflasi hingga November 2022. BPS mencatat, inflasi pada November 2022 sebesar 0,09% secara bulanan (MoM) dan 5,42% secara tahunan. Dengan capaian tersebut, inflasi tahun berjalan atau secara
year to date (YtD) terpantau 4,82%. “Dengan inflasi sebesar 4,82% YtD tersebut, inflasi tahun 2022 ini akan berada di bawah 6%. Kelihatannya masih memenuhi target yang ditetapkan pemerintah,” ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto, Kamis (1/12).
Inflasi November memang melandai akibat melambatnya inflasi harga pangan bergejolak
(volatile food). Pada bulan laporan, inflasi volatile food bergerak di level 5,7% YoY atau lebih rendah dari 7,19% YoY pada bulan Oktober 2022.
Baca Juga: Rupiah dalam Sepekan Terkerek Arah Bunga Fed Inflasi kelompok inti pada November 2022 terpantau sebesar 3,30% YoY , atau melandai tipis dari 3,31% YoY pada bulan sebelumnya. Sedangkan inflasi kelompok harga diatur pemerintah
(administered price) tercatat 13,01% yoy, atau juga melandai dari bulan sebelumnya yang sebesar 13,28% yoy. Meski melandai, inflasi kelompok ini masih terpantau tinggi sebagai imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak September 2022. “Inflasi kelompok diatur pemerintah secara tahunan masih tinggi, didorong oleh kenaikan harga bensin, bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan udara, dan tarif angkutan dalam kota dalam setahun terakhir,” kata Setianto.
Baca Juga: Sri Mulyani Sebut Ada 3 Tantangan Hantui Pertumbuhan Ekonomi RI, Apa Saja? Dengan melihat capaian inflasi hingga November 2022, Bank Danamon memperkirakan inflasi pada tahun ini berada di kisaran 5,3%. Asal tahu saja proyeksi itu lebih rendah dari perkiraan inflasi tahunan sebelumnya yang sebesar 6,5%. “Penurunan harga pangan di tengah penurunan harga pangan global dan musim panen, juga didorong upaya pemerintah untuk menjaga harga pangan lebih rendah,” terang Ekonom Bank Danamon Irman Faiz kepada Kontan.co.id, Kamis (1/12). Ini kemudian menjadi salah satu faktor yang membuat Faiz kemudian memangkas proyeksi inflasi di sepanjang tahun 2022. Faiz juga memangkas perkiraan inflasi inti pada tahun ini. Menurut perhitungannya, inflasi inti akan berada di kisaran 3,5% YoY, atau lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 4,0% YoY. Meski begitu, Faiz mengingatkan harga bahan baku masih naik walaupun lajunya lebih lambat. Hanya, ini tetap membuka ruang bagi produsen untuk membebankan biaya produksi mereka kepada konsumen. Kondisi ini akan tetap membawa inflasi hingga paruh pertama tahun depan masih bergerak tinggi, dengan puncak inflasi pada kuartal II-2023.
Baca Juga: Harga Minyak Menguat Sepekan Jelang Rapat OPEC+ Hari Minggu Esok Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memperkirakan, inflasi pada semester I-2023 bergerak di kisaran 5% yoy. Dia mengatakan, prediksi ini dipengaruhi dampak lanjutan
(second round impact) kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta dampak kenaikan upah minimum provinsi (UMP). “Dampak kenaikan harga BBM tetap terasa di Januari 2023. Ditambah ada kenaikan UMP yang penyesuaiannya pada Januari 2023 tetapi penerapannya mungkin sampai kuartal II-2023,” terang David kepada Kontan.co.id, Kamis (1/12). Nah, kenaikan UMP ini di satu sisi memang menjaga daya beli para pekerja. Namun, di satu sisi kenaikan UMP akan menaikkan permintaan yang juga berpotensi mengerek inflasi. Kabar baiknya, inflasi akan bergerak melandai pada awal semester II-2023. Dengan ini, inflasi di keseluruhan tahun 2023 berpotensi berada di kisaran 3% yoy hingga 4% yoy, atau kembali ke kisaran sasaran BI yang sebesar 2%-4%.
Baca Juga: Tekanan Permintaan Belum Kuat, Inflasi Inti Melandai Namun tetap saja, untuk membawa inflasi kembali ke kisaran sasaran, pemerintah maupun otoritas moneter harus berupaya keras. Dari sisi pemerintah, perlu ada jaminan kecukupan suplai makanan pokok. David menyoroti ketersediaan beras. Sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, pasokan beras perlu dijaga. Apalagi, beras sudah memberi andil pada inflasi IHK selama beberapa bulan terakhir. “Angka kecukupan suplai beras harus dipastikan benar. Kalau perlu impor, ya sudah impor saja. Ini untuk menjaga stabilitas harga, terlebih ini makanan pokok Indonesia,” tutur David.
Baca Juga: Rupiah Menguat 1,58% Terhadap Dolar AS Dalam Sepekan BI juga diperkirakan terus menyingsingkan lengan. BI hadir dengan menaikkan suku bunga acuan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar tak bergerak liar juga untuk menjaga pergerakan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global.
David mengingatkan, nilai tukar rupiah juga perlu dijaga. Pasalnya, bila rupiah melemah dalam, akan ada kenaikan
imported inflation yang juga menyumbang kenaikan inflasi. Terlepas upaya baik BI maupun pemerintah, David berharap tidak ada kejutan dari dunia internasional yang bisa memengaruhi tingkat harga di dalam negeri. “Jangan sampai ada kebijakan maupun peristiwa yang mengejutkan lagi dari sisi global. Jadi, tidak ada harga minyak internasional naik tinggi lagi, maupun harga pangan akibat disrupsi rantai pasok. Mudah-mudahan ketegangan mereda di tahun depan,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati