BEIJING. Tingkat inflasi China semakin menjinak. Bahkan pelemahannya merupakan yang terendah dalam dua tahun terakhir. Ini menandakan, pertumbuhan ekonomi semakin anjlok dan perekonomian Negeri Panda itu berisiko mengalami deflasi.Berdasarkan data Biro Statistik yang dirilis hari ini, indeks harga konsumen mengalami kenaikan 2,4% pada bulan November setelah sebelumnya mengalami kenaikan sebesar 4% pada Oktober. Selain itu, tingkat ekspor China merosot untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir pada November. Sementara tingkat impor juga anjlok dan tingkat harga produsen meningkat dan bertengger di angka tertinggi dalam dua tahun terakhir.
Adanya penurunan ini semakin meningkatkan tekanan bagi para penentu kebijakan untuk segera memangkas lagi tingkat suku bunganya yang terbesar dalam 11 tahun terakhir, memperbanyak anggaran belanja senilai 4 triliun yuan atau US$ 584 miliar dan memberikan kesempatan bagi yuan untuk terdepresiasi. “Semakin melambatnya inflasi akan memberikan banyak ruang bagi bank sentral untuk menurunkan tingkat suku bunga sehingga dapat memacu pertumbuhan. Skenario terburuk untuk deflasi adalah para produsen menurunkan harga, margin keuntungan akhirnya tergerus sehingga ada pemotongan gaji. Ujung-ujungnya, tingkat konsumsi juga akan melempem,” kata Li Wei, ekonom Standard Chartered Bank Plc di Shanghai. Data inflasi juga menunjukkan, harga makanan hanya mengalami kenaikan sebesar 5,9% pada bulan lalu dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Ini merupakan kenaikan terendah dalam dua tahun terakhir. Sementara, tingkat harga bukan makanan hanya naik 0,6%, dan merupakan angka terkecil dalam empat tahun. Bahkan, ada beberapa harga yang mengalami penurunan. Sebut saja tingkat harga telekomunikasi yang anjlok 19%, harga daging babi turun 9,3% dan garmen menurun 2%. Sementara itu, pada pukul 10.24 waktu Shanghai, CSI 300 Index terpeleset 0,6%. Ini merupakan suatu pertanda lain bahwa perekonomian di Negeri Tirai Bambu itu semakin melambat. Sedangkan yuan diperdagangkan pada level 6,8540 terhadap dolar, dari sebelumnya 6,8550 sebelum data inflasi dirilis. Deflasi baik dan deflasi buruk Resesi di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang membuat pasar properti melemah yang kemudian menyebabkan merosotnya investasi, konstruksi dan konsumsi. Ini yang pada akhirnya turut memangkas permintaan barang-barang asal China. Menurut chief China economist Morgan Stanley Wang Qing, Pemerintah China harus mencegah “deflasi yang baik” seperti turunnya harga komoditas dan bahan baku yang dapat menyokong pertumbuhan manufaktur, berubah menjadi “deflasi yang buruk”. “Deflasi yang buruk menyebabkan tergerusnya laba dan keuntungan sehingga bisa menyebabkan tingginya angka pengangguran,” jelas Qing.
Morgan Stanley memprediksi, indeks harga konsumen akan mengalami penurunan sebesar 0,8% pada 2009. Kemarin, Pemerintah China mengingatkan akan adanya tekanan yang lebih hebat terhadap perekonomian. Itu sebabnya, China berencana untuk meningkatkan anggaran belanja, memangkas pajak dan melakukan banyak hal lain untuk menciptakan lapangan kerja baru sehingga dapat menstabilkan kehidupan sosial. Meski demikian, Perdana Menteri China Wen Jiabao sangat optimis bisa segera keluar dari permasalahan ini. “Satu-satunya hal yang harus kita takutkan adalah rasa takut itu sendiri. China memiliki kemampuan untuk keluar dari permasalahan ini,” ujar Jiabao. Catatan saja, perekonomian China pada kuartal ketiga lalu mengalami pertumbuhan sebesar 9%. Angka tersebut merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Sementara, Bank Dunia memprediksi, tahun depan, perekonomian China akan tumbuh sebesar 7,5% yang merupakan angka terendah sejak 1990.
Editor: Barratut Taqiyyah Rafie