KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Credit Default Swap (CDS) atau tingkat risiko investasi di Indonesia kembali melandai pada awal Mei 2024. Meredanya ketidakpastian global dari the Fed dan geopolitik menjadi pendorongnya. Berdasarkan
Bloomberg, CDS 5 tahun Indonesia per Rabu (8/5) berada di level 72,35. Sementara di akhir Maret, CDS 5 tahun Indonesia di level 75,54. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, penurunan CDS secara umum disebabkan oleh meredanya ketidakpastian global dari sisi the Fed ataupun geopolitik.
Pada pertemuan FOMC pada awal Mei, the Fed memastikan bahwa suku bunga dari the Fed sudah mencapai puncaknya, yang kemudian mendorong penurunan risiko
higher for longer dari the Fed.
Baca Juga: BI Beberkan 4 Faktor yang Bisa Membuat Rupiah di Bawah Rp 16.000 Per Dolar AS "Penurunan risiko ini berdampak pada penurunan premi risiko secara global, sehingga ikut mendorong penurunan CDS Indonesia, baik CDS 5 tahun ataupun 10 tahun," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (8/5). Untuk kuartal II ini, Josua berpandangan risiko dinamika CDS masih berasal dari sektor eksternal, sejalan dengan ketidakpastian timing dari pemotongan suku bunga the Fed. Hingga saat ini, the Fed masih menyatakan bahwa keputusan mereka akan sangat bergantung pada kondisi data AS. Namun, pergerakan CDS dinilai berpotensi cenderung menurun terbatas di kuartal II ini. Utamanya, karena data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) sudah kembali cenderung mengalami perlambatan. Dari sisi historis CDS, kondisi perlambatan data AS yang diikuti oleh kenaikan ekspektasi penurunan suku bunga the Fed, akan mendukung penurunan CDS lebih lanjut.
Baca Juga: Modal Asing Hengkang Rp 21,46 Triliun Pada Pekan Ketiga April 2024 "Tren yang sama akan berlanjut, terutama pada paruh kedua 2024, ketika sinyal dari pemotongan suku bunga sudah semakin jelas," paparnya. Melandainya tingkat risiko investasi di Indonesia turut mendorong aliran masuk dana asing. Periode 29 April - 2 Mei 2024, Bank Indonesia (BI) mengumumkan adanya beli neto di pasar surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 3,75 triliun dan Rp 1,58 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Walaupun memang, di pasar saham masih terjadi jual neto sebesar Rp 2,27 triliun. "Pergerakan
inflow ini sudah sejalan dengan penurunan CDS akibat meningkatnya sentimen
risk-on di pasar keuangan global," kata Josua.
Baca Juga: Aliran Modal Asing Hengkang Rp 8,07 Triliun, Jelang Hari Raya Idul Fitri Josua menilai, masih terjadinya jual neto di pasar saham karena secara umum asing masih akan sangat berhati-hati untuk masuk ke pasar negara berkembang, terutama Indonesia. Ini akibat belum ada kejelasan terkait 'timing' pemangkasan suku bunga the Fed. "Investor mungkin baru akan kembali melakukan inflow pada paruh kedua 2024 pasca sinyal yang lebih jelas terkait timing pemotongan suku bunga," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli