BENGKULU. Direktur Walhi Bengkulu Benny Ardiansyah menegaskan, jika pemerintah tak mematuhi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) nomor 4 Tahun 2009 beserta turunannya dalam Permen ESDM nomor 7 Tahun 2012 yang mengamanahkan agar ekspor bahan mentah hasil tambang tak diperbolehkan lagi terhitung 12 Januari 2014, maka pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum. "Walhi memahami logika pemerintah saat ini karena dengan diberlakukannya aturan tersebut secara konsisten maka negara dapat mengalami kerugian pendapatan hingga Rp 60 triliun dan ancaman PHK bagi karyawan dan itu sifatnya sesaat, namun sekali lagi ini amanat konstitusi tak ada tawar dalam hal ini," kata Benny, di Bengkulu, Rabu, (25/12). Ia melanjutkan, selain persoalan patuh hukum, momen ini merupakan nilai tawar bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai tawar dalam hal industri pertambangan yang selama ini menurutnya selalu berada di bawah dikte perusahaan tambang asing. "Ini merupakan kedaulatan negara, jika dari pemerintah telah memberikan contoh untuk mensiasati UU dan Permen maka ini merupakan celaka tiga belas," tambahnya. Dia mengatakan, dengan aturan ini, perusahaan pertambangan wajib mendirikan pabrik pengolahan bahan tambang setengah jadi sebelum diekspor. Hal ini tentu akan membuat penyerapan bagi lapangan pekerjaan baru. Ia mencontohkan, dari provinsi Bengkulu ribuan ton pasir besi di ekspor, namun negara tidak mendapatkan keuntungan apa pun, karena ada juga peraturan pemerintah yang menegaskan bea cukai ekspor pasir besi nol persen alias bebas. "Di mana untungnya negara dalam pertambangan pasir besi jika kita ambil contoh," katanya. Sebelum aturan ini diberlakukan, Benny meminta aparat penegak hukum untuk mewaspadai perusahaan pertambangan yang memobilisasi bahan hasil galian secara besar-besaran. Sementara itu praktisi hukum Bengkulu, Firnandes Maurisya menyebutkan, hal yang paling mendasar dalam polemik ini adalah konsistensi pemerintah pada penegakkan hukum karena jika pemerintah tidak menjalani amanah konstitusi, maka asing atau investor akan dengan mudah mengangkangi aturan di Indonesia. "Hal yang paling penting dalam polemik ini adalah konsisten terhadap penegakkan hukum, jika pemerintah menghormati hukum maka semua akan segan, ini merupakan titik balik kita untuk dapat berdaulat di bidang perambangan," kata Nandes. (Firmansyah)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Tingkatkan nilai tawar Indonesia lewat UU Minerba
BENGKULU. Direktur Walhi Bengkulu Benny Ardiansyah menegaskan, jika pemerintah tak mematuhi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) nomor 4 Tahun 2009 beserta turunannya dalam Permen ESDM nomor 7 Tahun 2012 yang mengamanahkan agar ekspor bahan mentah hasil tambang tak diperbolehkan lagi terhitung 12 Januari 2014, maka pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum. "Walhi memahami logika pemerintah saat ini karena dengan diberlakukannya aturan tersebut secara konsisten maka negara dapat mengalami kerugian pendapatan hingga Rp 60 triliun dan ancaman PHK bagi karyawan dan itu sifatnya sesaat, namun sekali lagi ini amanat konstitusi tak ada tawar dalam hal ini," kata Benny, di Bengkulu, Rabu, (25/12). Ia melanjutkan, selain persoalan patuh hukum, momen ini merupakan nilai tawar bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai tawar dalam hal industri pertambangan yang selama ini menurutnya selalu berada di bawah dikte perusahaan tambang asing. "Ini merupakan kedaulatan negara, jika dari pemerintah telah memberikan contoh untuk mensiasati UU dan Permen maka ini merupakan celaka tiga belas," tambahnya. Dia mengatakan, dengan aturan ini, perusahaan pertambangan wajib mendirikan pabrik pengolahan bahan tambang setengah jadi sebelum diekspor. Hal ini tentu akan membuat penyerapan bagi lapangan pekerjaan baru. Ia mencontohkan, dari provinsi Bengkulu ribuan ton pasir besi di ekspor, namun negara tidak mendapatkan keuntungan apa pun, karena ada juga peraturan pemerintah yang menegaskan bea cukai ekspor pasir besi nol persen alias bebas. "Di mana untungnya negara dalam pertambangan pasir besi jika kita ambil contoh," katanya. Sebelum aturan ini diberlakukan, Benny meminta aparat penegak hukum untuk mewaspadai perusahaan pertambangan yang memobilisasi bahan hasil galian secara besar-besaran. Sementara itu praktisi hukum Bengkulu, Firnandes Maurisya menyebutkan, hal yang paling mendasar dalam polemik ini adalah konsistensi pemerintah pada penegakkan hukum karena jika pemerintah tidak menjalani amanah konstitusi, maka asing atau investor akan dengan mudah mengangkangi aturan di Indonesia. "Hal yang paling penting dalam polemik ini adalah konsisten terhadap penegakkan hukum, jika pemerintah menghormati hukum maka semua akan segan, ini merupakan titik balik kita untuk dapat berdaulat di bidang perambangan," kata Nandes. (Firmansyah)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News