KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Kalbe Farma Tbk (
KLBF), melalui PT Forsta Kalmedic Global, berhasil membangun fasilitas produksi dialyzer pertama di Indonesia dan kedua di ASEAN. Alat kesehatan (alkes) itu terdaftar menggunakan nama brand RenaCare yang dipasarkan oleh PT Renalmed Tiara Utama. Asal tahu saja, dialyzer merupakan bahan habis pakai (
consumables) penting dalam tindakan hemodialisis atau cuci darah. Tindakan ini juga bentuk dukungan terhadap program pemerintah terkait ketahanan kesehatan nasional demi mendorong kemandirian industri kesehatan dalam negeri.
Direktur Kalbe Farma, Kartika Setiabudy mengatakan, penyediaan fasilitas produksi Dialyzer di dalam negeri oleh Kalbe melalui Forsta ini merupakan bagian dari komitmen perseroan untuk terus meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat, khususnya untuk membantu pasien ginjal di Indonesia.
Baca Juga: Ini Dia Saham Jagoan dari NH Korindo Sekuritas untuk Tahun 2025 Kalbe berupaya untuk mendukung program pemerintah di bidang kemandirian kesehatan, termasuk yang ada dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN), yang mana industri alat kesehatan menjadi sektor prioritas. Pengembangan sektor prioritas ini juga meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) industri alat kesehatan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik, terutama pengadaan pemerintah. “Dialyzer juga telah meraih sertifikasi CPAKB (Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik) dari Kementerian Kesehatan,” ujarnya dalam Media Gathering Kalbe, Rabu (18/12).
Baca Juga: IHSG Melemah Empat Hari Beruntun, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat menjelaskan, hemodialisa atau cuci darah adalah prosedur rutin seumur hidup yang dilakukan 2-3 kali seminggu oleh pasien gagal ginjal kronis di tahap 5 (End Stage Renal Disease), yakni fungsi ginjal sudah sangat rendah atau kurang dari 15%. Ini merupakan sebuah prosedur di mana mesin dialisis dan dialyzer digunakan untuk membersihkan darah. “Dokter membuat akses ke pembuluh darah, biasanya melalui operasi minor di lengan, untuk mengalirkan darah ke dalam dialyzer yang berfungsi sebagai ginjal buatan,” tuturnya dalam kesempatan yang sama. Menurut Yvone, sebanyak 99% pasien cuci darah di Indonesia telah dijamin oleh BPJS. Namun, kebutuhan hemodialisis di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Dari 267 juta jumlah populasi Indonesia, sebanyak 1,5 juta orang merupakan pasien gagal ginjal kronis dengan 159.000 orang menjalani cuci darah.
Baca Juga: Membedah Profil Kinerja dan Valuasi KSIX, Calon Emiten Milik Keluarga Grup Kalbe Berdasarkan data BPJS Kesehatan, cuci darah dinyatakan sebagai tindakan dengan biaya terbesar keempat pada pengeluaran BPJS dengan pengeluaran tahun 2023 sebesar Rp 2,9 triliun. Fakta lainnya, sebanyak 85% pasien cuci darah ada di rentang usia produktif, sehingga menyebabkan tingginya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan jika pasien gagal ginjal tidak terjaga kualitas hidupnya. “Alhasil, inovasi KLBF ini dinilai penting untuk memastikan kita bisa mencapai Indonesia emas di tahun 2045,” katanya. Dengan adanya produk lokal dialyzer, pemanfaatan dana BPJS tidak hanya untuk akses kesehatan bagi pasien gagal ginjal, tetapi juga untuk mendukung industri alkes lokal dan memastikan dana tersebut menggerakkan ekonomi dalam negeri. “Selain itu, dialyzer produksi dalam negeri dapat membantu mempermudah dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia,” katanya.
Baca Juga: Emiten Big Caps Beri Keuntungan Tinggi dari Dividen Ketimbang Capital Gain? Menurut Yvone, Dialyzer RenaCare produksi lokal sudah menggunakan komponen lokal dengan estimasi nilai TKDN lebih dari 40%. Ada sejumlah manfaat dari kemandirian industri hemodialisa di berbagai sektor. Pada sektor ekonomi, dapat mengurangi impor dan menciptakan lapangan kerja. Pada sektor kesehatan, membantu ketersediaan alat yang semakin terjangkau dan efisiensi pasokan alat kesehatan. Sedangkan, pada sektor ketahanan nasional, produksi lokal dialyzer memperkuat ketahanan nasional dengan memastikan ketersediaan produk tetap stabil dan layanan kesehatan berlanjut meski terjadi krisis global. Alhasil, produksi lokal dialyzer menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman internasional, sehingga harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis menjadi lebih aksesibel bagi pasien dan fasilitas kesehatan. “Selain itu, produksi lokal dialyzer juga mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” jelasnya.
Baca Juga: Cuan Legit Pemburu Dividen di Tengah Gejolak Saham Yvone mengungkapkan, pencapaian Forsta telah mendapatkan apresiasi positif dan disambut baik oleh sejumlah pihak. Di antaranya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), BPJS Kesehatan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), serta Balai Pengamanan Alat dan Fasilitas Kesehatan (BPAFK) Jakarta. Forsta telah melakukan transfer teknologi dengan partner dari Italia yang penandatanganan kerja sama maupun launching produknya dilakukan dalam ajang bergengsi dunia di MEDICA, Jerman. Pada acara tersebut, Forsta mendapatkan dukungan dari Kemendag, Atase Perdagangan Hamburg, KBRI di Berlin, Kemlu. Selain itu, juga disaksikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Jerman yang juga adalah Wakil Menteri Luar Negeri 3, Arif Havas Oegroseno.
“Dialyzer produksi Forsta juga meraih Penghargaan Karya Anak Bangsa oleh Kemenkes, sebagai Fasilitas Produksi Dialyzer Pertama di Indonesia,” ungkap Yvone.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati