TINS dijamin mendapat porsi 75% saham Koba Tin



JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengisyaratkan akan memperpanjang izin pengelolaan lahan tambang PT Koba Tin. Namun pemerintah meminta perpanjangan itu diikuti dengan perubahan porsi kepemilikan saham.

Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, tengah mengkaji secara komprehensif status kontrak Koba Tin, mulai dari segi hukum, ekonomi, keuangan, serta lingkungan. "Sekarang ini, semua aspek lagi dievaluasi. Kami melibatkan akademisi yang berkompeten," kata dia, pekan lalu.

Kajian tersebut akan digelar selama tiga bulan. Kendati proses kajian masih berjalan, pemerintah memperbolehkan Koba Tin untuk tetap melakukan aktivitas pertambangan hingga 30 Juni mendatang. Itu merupakan tanggal deadline penetapan kontrak baru.


Tim yang telah dibentuk pemerintah akan menghitung besaran biaya yang harus dibayarkan Koba Tin sebagai kewajiban pasca kegiatan penambangan. Malaysia Smelting Corporation Berhad (MSC), induk usaha Koba Tin telah mengelola areal pertambangan tersebut sejak 1973 silam. Izin kemudian diperpanjang diperpanjang 10 tahun, sejak 2003, dan berakhir pada akhir Maret 2013. Belakangan, MSC mengajukan proposal perpanjangan kontrak ke pemerintah.

Thamrin mengatakan, jika hasil tim evaluasi memutuskan adanya perpanjangan izin, pihaknya tentu memprioritaskan perusahaan nasional dalam pengelolaan Koba Tin ke depannya. Dia menegaskan, PT Timah sebagai perusahaan pelat merah harus memegang porsi kepemilikan saham tersebesar Koba Tin, yakni sekitar 51% hingga 75%.

Badan Usaha Milik Negara itu, kini, hanya memiliki 25% saham dari Koba Tin. Sedangkan MSC memegang 75% saham perusahaan yang menguasai areal pertambangan seluas 41.510 ha di Kepulauan Bangka Belitung tersebut. "Kepemilikan nasional itu harus lebih besar. Besarannya ya tergantung hasil evaluasi. Minimal harus 51%," ujar dia.

Thamrin mengatakan, pemerintah memberikan izin aktivitas pertambangan di Koba Tin hingga tiga bulan ke depan untuk menghindari gejolak ekonomi dan sosial di wilayah setempat. Maklumlah, sekitar 250 orang tenaga kerja masih menggantungkan hidupnya dari areal pertambangan Koba Tin.

KK berubah jadi IUP

Menurut Thamrin, apabila izin penambangan ke Koba Tin diperpanjang, maka bentuknya tidak lagi berupa kontrak karya (KK), melainkan izin usaha pertambangan (IUP). "Luas lahan akan kami kurangi menjadi 25.000 ha sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba)," jelas dia.

Ia menambahkan, untuk sisa areal tambang sebanyak 16.510 ha akan dijadikan sebagai wilayah pencadangan negara melalui konsultasi dengan DPR RI. "Jadi, kalau diperpanjang kontraknya, izinnya akan menjadi IUP operasi produksi," imbuh Thamrin.

Agung Nogroho, Corporate Secretary Timah mengatakan, perusahaan itu siap untuk mengambil alih 100% areal lahan tambang eks Koba Tin. Pihaknya berharap, pemerintah tidak memperpanjang perizinan kontrak Koba Tin dan langsung menyerahkannya kepada pihaknya.

Sekarang ini, Timah masih menunggu restu dari pemerintah pusat untuk mengambil alih lahan Koba Tin. Agung menyampaikan, pada tahun ini pihaknya menyiapkan dana investasi sekitar US$ 1,4 miliar. Sebagian dana tersebut diperuntukkan untuk mengembangkan lahan pertambangan yang kini dikelola perusahaan asal Malaysia tersebut.

Agung menuturkan, pihaknya bersedia menampung seluruh karyawan yang sekarang ini masih bekerja di Koba Tin. "Kalau sudah ditetapkan untuk mengambil alih lahan Koba Tin, kami akan segera melakukan studi dan kegiatan eksplorasi untuk membuktikan berapa besar cadangan timah yang ada wilayah tersebut," kata dia.        

Boks

Produsen timah PT Timah Tbk (TINS) memproyeksikan produksi TINS sepanjang Januari-Maret 2013 ini akan lebih kecil dibandingkan dengan tahun lalu di periode yang sama yang sebesar 7.407 ton.

"Di awal tahun, produksi kami memang selalu rendah, namun kami juga melakukan strategi untuk mengurangi produksi," ujar Agung Nugroho Sekretaris Perusahaan TINS tanpa menyebutkan secara detail penurunannya, pekan lalu.

Meski demikian, Timah optimistis pendapatannya selama kuartal-I 2013 akan meningkat dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Penyebabnya, harga jual timah saat ini menguat mencapai US$ 24.000 per ton, atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya sebesar US$ 23.101 per ton.

Seperti diketahui, pada periode Januari-Maret tahun lalu, Timah memperoleh pendapatan sebesar Rp 2,17 triliun, dengan laba kotor mencapai Rp 452,7 miliar. "Harapan kami untuk peningkatan pendapatan di saat produksi turun ialah kenaikan harga timah," jelas Agung.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini