JAKARTA. Berutang, bagi sebagian orang, masih dinilai sebagai hal yang tabu. Utang di mata
beberapa kalangan identik dengan ketidakmampuan keuangan dan stigma miskin alias kekurangan. Tentu, tidak ada yang salah dari anggapan itu. Anda pasti tahu, arti harfiah dari utang alias Liabilitymemang berarti kekurangan. Namun, perkembangan dunia keuangan telah menempatkan utang sebagai salah satu bagian strategi meningkatkan kepemilikan aset, yakni apa yang disebut leverage atau daya pengungkit. Jamak kita menemui, perusahaan membiayai modal usaha dari utang. Dari hasil ekspansi usaha itu,perusahaan bisa mencetak margin sekaligus membayar utangnya. Cara itu lazim ditempuh oleh korporasi.
Bagi individu, strategi yang sama juga ditempuh. Fasilitas kredit alias utang dalam beragam kemasan atawa produk makin akrab di kehidupan kita sehari-hari. Berani bertaruh, sekarang ini jarang sekali kita menemui kenalan atau kolega yang tidak memiliki tanggungan utang. Kartu kredit, kredit pemilikan rumah, kredit pemilikan kendaraan, kredit modal kerja, kredit tanpa agunan, hingga utang di koperasi tempat kerja adalah jenis-jenis utang yang
kerap dimiliki oleh perorangan. Singkat kata, berutang tidak lagi terhitung sebagai tabu yang ditulis dalam huruf besar. Berutang
bukan pantangan dalam perencanaan keuangan. Dengan berutang secara sehat atau sesuai kemampuan,
kita bisa menaikkan kemampuan keuangan. Namun, di sisi berseberangan, berutang tanpa perencanaan yang baik malah bisa menjerumuskan kita ke titik kebangkrutan. “Utang bagai senjata yang bisa kita gunakan membela diri, namun bisa pula melukai si pemakai,” ujar Diana Sandjaja, perencana keuangan MRE Financial & Business Advisory, beranalogi. Maka itu, sebelum memanfaatkan utang, pengenalan karakteristik diri dan kondisi keuangan mutlak kita lakukan. Jangan sampai terjadi, utang yang semula ingin Anda manfaatkan untuk menciptakan performa keuangan yang lebih baik justru berbalik menjadi sumber kesengsaraan Anda. Utang tetaplah utang Kendati bisa membantu kita mendongkrak kemampuan keuangan, utang tetaplah utang. Utang sejatinya sama saja dengan barang atau komoditas biasa di pasar. Para penjualnya, yakni kreditur,
membanderol produk utang yang harus dibayar si pembeli (debitur) dalam bentuk bunga kredit. Para kreditur juga berlomba menawarkan fasilitas utang dengan harga alias bunga kompetitif.
Berpikir, mempelajari, dan menimbang cermat beberapa prinsip penting harus dilakukan sebelum memutuskan untuk berutang. Pertama, sama halnya dengan keputusan membeli sebuah barang, hal prinsip yang harus Anda jawab sebelum berutang adalah apakah Anda sungguh-sungguh membutuhkan utang tersebut? “Berutanglah hanya dalam kondisi mendesak dan butuh,” saran Eko Endarto, perencana keuangan Finansia Consulting. Kedua, periksa kondisi keuangan Anda. Jika memang memutuskan berutang, pastikan Anda memiliki kemampuan untuk membayarnya berikut risiko-risikonya. Kesalahan yang sering terjadi pada orang yang agresif berutang adalah mereka kurang menimbang risiko-risikonya. Baik dari risiko bunga maupun risiko kesinambungan sumber penghasilan yang digunakan untuk membayar utang. Mereka mengira, kondisi penghasilannya akan tetap stabil selamanya. Padahal, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kebangkrutan bisnis tidak bisa 100% hilang. “Jangan pernah mempertaruhkan pendapatan yang tidak pasti dengan beban pembayaran Ketiga, cermati tawaran fasilitas utang yang hendak Anda ambil. Lakukan riset dan perbandingan dengan tawaran bunga kredit sejenis di pasar. Jangan sampai Anda tergiur berutang hanya karena
terbujuk rayuan klaim bunga murah. Untuk itu, penting sekali mempelajari skema cicilan hingga Anda bisa berhitung cermat efek utang tersebut pada kondisi kocek Anda di masa mendatang. Di sisi lain, jika saat ini posisi kolom utang Anda sudah terisi berbagai macam jenis utang,
memeriksa dan mengecek kesehatan utang hukumnya wajib. Apa saja yang perlu kita lakukan untuk
memastikan kondisi keuangan berikut utang kita, terjaga dalam kondisi aman? Mari kita simak bersama kiat dari para perencana keuangan, sebagai berikut. Cek jenis utang Utang menilik penggunaannya bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu utang produktif dan utang konsumtif. Utang produktif adalah utang yang kita gunakan untuk membeli aset produktif. Aset produktif, yakni aset yang nilainya terus meningkat atau menghasilkan nilai yang lebih besar dari cicilan utang. Termasuk di sini adalah kredit pemilikan rumah (KPR), kredit investasi, atau kredit modal kerja. Sebaliknya, segala jenis utang yang kita manfaatkan untuk membeli aset konsumtif dinamakan utang konsumtif. Misal, kartu kredit untuk belanja barang di mal atau makan di restoran. Para perencana keuangan menyarankan, jika memang terdesak berutang, ada baiknya Anda berutanguntuk pembelian aset produktif. Jika memang perlu memakai kartu kredit, pastikan penggunaannyauntuk mendukung kemudahan transaksi saja, bukan sebagai kartu utang apalagi “tambahan”diagnosis keuangan. Ada beberapa rumus yang bisa Anda gunakan untuk mengecek masalah utang piutang ini. Pertama, rasio utang terhadap aset, yaitu perbandingan antara total utang dibagi total aset. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan kita membayar utang. Angkanya harus lebih kecil dari 50%. Kedua, rasio kemampuan pelunasan utang (debt service ratio). Rumus ini menghitung perbandingan antara total pembayaran utang per bulan dibagi penghasilan bulanan pencari nafkah utama. “Rasionya maksimal 30%. Jika angkanya mencapai 45%, sudah dikategorikan berbahaya,” jelas Pandji Harsanto, perencana keuangan dari Fin-Ally Financial Planning and Consulting. Batas maksimal cicilan utang disepakati sebesar 30% jika itu berupa utang konsumtif. “Angkanya boleh hingga 40% jika digabungkan dengan utang produktif,” imbuh Eko. Angka itu untuk menunjukkan seberapa banyak dana dari penghasilan si pencari nafkah utama untuk membayar cicilan utang. Jadi, rasio yang dihitung bukanlah dari total penghasilan bersama suami dan istri alias joint income. Ketiga, rasio pelunasan utang non-hipotek. Angka ini untuk mengukur kemampuan pelunasan utang
konsumtif. Bisa dihitung dengan membagi total pembayaran cicilan non-hipotek per bulan dengan penghasilan utama per bulan. Rasio maksimal adalah 15%. Jika ternyata angkanya melampaui 20%, itu peringatan bahwa kondisi keuangan Anda tidak sehat akibat beban utang konsumtif. Bandingkan manfaat Anda sudah mengukur rasio utang dalam buku keuangan. Agar kesehatan keuangan terjaga, perlu juga bagi kita mengukur manfaat utang yang hendak kita ambil atau utang lama yang sudah berjalan. Apakah manfaat dari berutang itu lebih besar dibandingkan dengan biaya yang timbul akibat utang itu? “Jika lebih besar biaya dibanding manfaat, maka Anda perlu merestrukturisasi utang,” saran Diana. Caranya, bisa dengan melunasi lebih cepat utang-utang yang tidak ekonomis. Bisa juga melakukan utang baru berbiaya murah. Langkah ini jamak dilakukan oleh korporasi untuk meringankan beban utangnya. Utang-utang konsumtif ada baiknya terlebih dahulu dibereskan. Sedangkan, utang produktif bisa Anda periksa lagi biayanya. Jika memang memungkinkan, melunasi utang lebih cepat bisa menjadi langkah positif bagi keuangan Anda. Anda harus waspada jika sudah menunjukkan tanda-tanda terkena penyakit utang. Perilaku gali lubang dan tutup lubang alias menggunakan utang baru untuk menutup utang lama bisa jadi indikasi bahwa utang mulai menjerat Anda. Selain itu, ketika Anda cuma membayar cicilan minimum sebagai syarat pelunasan agar tidak default (gagal bayar), itu juga menandakan perilaku utang Anda tak sehat. Begitu juga ketika Anda menutup pengeluaran sehari-hari dengan kartu kredit karena tidak punya sumber dana lain. “Ciri lain, jika Anda tidak mengetahui total utang sendiri dan kepada siapa saja berutang,” imbuh Diana. Bereskan segera! Lantas, bagaimana jadinya jika kondisi keuangan kita sudah telanjur karut-marut akibat masalah utang? Rasio-rasio utang telah menunjukkan warna merah, apa yang harus kita lakukan? Diana memberikan beberapa tip agar masalah utang tak semakin runyam membelit Anda. Pertama, coba inventaris lagi semua utang yang Anda miliki, termasuk utang kepada keluarga dan rekan. Adapun untuk utang kepada lembaga keuangan, pastikan lagi berapa besar bunga kredit dan sudah berapa lama Anda menunggak cicilan. Kedua, buatlah prioritas pelunasan utang, mulai dari utang yang berbiaya paling besar. Ingat, biaya utang tak cuma berupa bunga, lo. Perhatikan dan hitung pula denda keterlambatan, biaya administrasi kredit, juga skema hitungan bunganya. Dari sana Anda bisa membandingkan mana utang yang paling murah dan mana yang paling mahal. Ketiga, bayarlah utang Anda di atas cicilan minimum. Tujuannya, supaya pelunasan bisa lebih cepat.Keempat, jika memang mendesak, jual saja sebagian aset Anda untuk melunasi utang-utang. Kelima, jika ternyata Anda sudah tidak mampu membayar utang, cobalah melobi kreditur. Anda bisa meminta pembuatan perjanjian agar utang Anda dijadikan cicilan tetap, tidak lagi diperhitungkan sebagai bunga berjalan. “Negosiasikan lagi bunga yang dikenakan dan jadwal pembayaran, sesuai kemampuan Anda agar tidak menunggak. Ingat, ini kesempatan terakhir Anda, jangan disia-siakan,” andas Diana. Keenam, ketika semua utang sudah lunas, gunakan jatah cicilan utang itu untuk memulai berinvestasi. Terakhir, yang tak kalah penting, ingat-ingat saja pengalaman utang nan pelik itu agar Anda selalu berpikir matang sebelum memutuskan berutang lagi. Para perencana keuangan sepakat, meski bukan strategi tabu untuk mengerek kapitalisasi aset, erutang tetap saja bukan pilihan terbaik untuk itu. Menjalankan gaya hidup sesuai kemampuan finansial yang kita miliki adalah prinsip utama. Jika Anda sudah cukup nyaman tanpa utang, mengapa juga tergiur godaan berutang? Bagaimanapun, wajah keuangan dengan nilai utang minim adalah lebih sehat ketimbang kantong yang bolong akibat penuh utang. Jadi, sudah siap menjaga kocek sehat dari utang-utang tak sehat? Semua kembali pada pilihan Anda. Sosiolog Daniel Bell menyebut sistem pembelian dengan cara utang yang terepresentasikan oleh kartu kredit sebagai satu dari dua penemuan manusia paling menakutkan setelah mesiu. Kartu kredit bersanding dengan iklan, dalam kacamata Bell, telah mendekonstruksi paradigma berpikir masyarakat tentang prinsip pengendalian diri. Teriakan Bell tahun 1960-an itu sepertinya masih relevan diungkit di hari-hari ini. Di ranah pribadi, kita bisa merasakan sendiri gempuran varian produk kartu kredit lewat iklan. Iming-iming “kemudahan” transaksi dengan kartu kredit, mulai dari belanja baju, tiket pesawat, dan sebagainya, silih berganti menggoda. Jika Anda menilai hidup Anda bisa lebih mudah dengan kartu kredit, tak soal memutuskan memiliki kartu kredit. Kuncinya tetap pada pengendalian diri. Menggunakan dengan bijak sembari melihat celah pemanfaatan secara optimal bisa menghindarkan Anda dari jebakan pahit kartu kredit. Produk kartu kredit menawarkan keunggulan diskon harga bekerjasama dengan vendor tertentu. Alih-alih memanfaatkan diskon itu untuk keperluan konsumsi semata, mengapa tidak mencoba mengubahnya menjadi instrumen produktif? Misal, memakai kartu kredit untuk kulakan barang diskon lantas dijual kembali dengan margin di atas bunga utang. “Sistem pembelian seperti ini bisa saja dilakukan bila kita sudah tahu arus barang dagangan yang dibelijualkan, juga kepastian jumlah yang dapat dijual kembali,” kata Pandji Harsanto, perencana keuangan dari Fin-Ally Financial Planning and Consulting Anda bisa mengejar pembayaran tagihan sebelum jatuh tempo sehingga Anda terbebas dari bunga. Alhasil, kartu kredit yang identik sebagai utang konsumtif bisa Anda ubah menjadi modal usaha. Tentu saja, itu bisa ditempuh setelah Anda cermat dan matang menghitung untung ruginya! Temuan Menakutkan Abad Modern Saya sering sedih melihat permasalahan buruh di Indonesia. Ini adalah kelompok yang sering berdemonstrasi memperjuangkan apa yang menurut mereka adalah hak sebagai pekerja. Salah satu yang sering menjadi tuntutan adalah upah minimum. Kesedihan saya bukan soal demonstrasinya, tapi soal kesejahteraan mereka. Penghasilan buruh yang meningkat tidak dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan. Sebab, para buruh memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan keuangan. Lalu, seperti berjodoh, bulan lalu saya mendapat kesempatan hadir menjadi pembicara seminar di hadapan buruh sebuah pabrik plastik. Kegiatan ini kami lakukan sebagai sebuah rangkaian kegiatan sehingga bisa betul-betul mengajak para buruh melakukan praktik perbaikan kondisi keuangan. Ada beberapa hal yang menjadi diskusi penting tersebut. Pengaturan arus kas Saat menerima penghasilan, para buruh perlu mengerti bahwa pengeluaran terbagi menjadi 4 kategoriesar: tabungan atau investasi, cicilan utang, pengeluaran rutin, dan lifestyle. Mungkin ada yang tidak percaya para buruh memiliki pengeluaran lifestyle. Ternyata, bahkan di level buruh sekalipun, dengan penghasilan yang serba terbatas, lifestyle tetap menjadi masalah besar. Hasil diskusi dengan para buruh menunjukkan bahwa banyak buruh memilih untuk mementingkan biaya pulsa dan rokok daripada menabung untuk biaya sekolah anak. Salah satu cara yang sederhana untuk belajar mengatur arus kas adalah dengan sistem amplop. Sistem amplop ini bisa membantu kita memilah-milah uang berdasarkan pos pengeluaran yang ada. Dengan cara ini kita jadi bisa melihat ke mana saja uang kita pergi dan sadar akan pengeluaran setiap bulan. Tujuan finansial: rumah Saya senang sekali ketika banyak buruh ini sudah memiliki cita-cita. Orang yang memiliki cita-cita akan memiliki semangat lebih banyak untuk maju. Salah satu cita-cita yang banyak menjadi bahasan dalam kunjungan pabrik itu adalah rumah. Ya, memiliki rumah sendiri adalah sebuah kebanggaan. Kebanyakan orang akan membeli rumah dengan cara kredit bank. Maka penting kita memiliki kemampuan menabung agar bisa mengumpulkan down payment rumah yang kita inginkan. Selanjutnya soal cicilan KPR. Kita perlu membatasi total cicilan kita hingga maksimal 30% dari penghasilan bulanan. Maka, saya mengingatkan para buruh ini agar berhati-hati saat tergiur mencicil barang-barang konsumtif. Jangan sampai punya telepon seluler baru dengan mencicil, tapi tidak sanggup lagi membayarkan cicilan KPR. Bereskan segera Semua orang, termasuk para buruh, perlu untuk berinvestasi. Namun jenis investasi yang cocok bagi setiap orang akan berbeda-beda. Soal investasi ini, harus hati-hati. Jangan sampai masuk ke dalam produk yang mereka tidak mengerti. Jadi, rekomendasi untuk buruh di pabrik plastik ini saya batasi pada produk tabungan, deposito, emas Logam Mulia, rumah petak, atau kepemilikan ternak dan sawah. Diskusi dengan para buruh pun menjadi seru. Mereka bersemangat karena membayangkan uang yang bekerja untuk mereka. Tapi ternyata, tak bisa menganggap remeh wawasan finansial buruh. Ada beberapa yang pengetahuannya bahkan sudah lebih banyak. Saya sempat kaget karena ada di antara para buruh ini yang sudah mulai berinvestasi di reksadana! Ketiga hal penting itu tentu bisa dipraktikkan oleh semua orang dengan latar belakang yang beragam. Tapi, lalu saya pun jadi gemas. Para buruh saja bersedia melakukan perbaikan pada kondisi keuangan mereka, tapi masih banyak mereka yang karyawan, yang pendidikannya lebih tinggi, penghasilannya jauh lebih besar, masih tidak peduli pada proses perbaikan keuangan ini. Kesimpulan saya setelah beberapa kali kunjungan ke pabrik tersebut, ternyata para buruh di sana adalah orang-orang yang sangat optimistis dan ingin belajar. Tentu saja saya sangat senang karena artinya banyak harapan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan buruh. Mudah-mudahan bukan saja upahnya yang meningkat, tapi juga dibarengi dengan kemampuan meningkatkan jumlah tabungan dan investasi mereka.
Tentu ada proses. Kesejahteraan tidak bisa terjadi dalam sekejap. Saya berharap, para buruh segera merasakan proses bisa menabung, berinvestasi, memiliki rumah, menyekolahkan anak, dan pensiun. Perbaikan kesejahteraan buruh adalah bagian penting dalam upaya memperkuat golongan menengah. Buruh yang sejahtera akan berkontribusi pada kekuatan ekonomi Indonesia. Kalau para buruh saja bisa mengupayakan menabung, apalagi mereka yang bekerja sebagai karyawan. Jadi, bagaimana dengan Anda? Apa yang sudah Anda lakukan untuk bisa memperkuat keuangan Anda sendiri? ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVII, 2013 Laporan Utama JAKARTA. Berutang, bagi sebagian orang, masih dinilai sebagai hal yang tabu. Utang di mata beberapa kalangan identik dengan ketidakmampuan keuangan dan stigma miskin alias kekurangan.Tentu, tidak ada yang salah dari anggapan itu. Anda pasti tahu, arti harfiah dari utang alias liability� memang berarti kekurangan. Namun, perkembangan dunia keuangan telah menempatkan utang sebagai salah satu bagian strategi meningkatkan kepemilikan aset, yakni apa yang disebut leverage atau daya pengungkit.Jamak kita menemui, perusahaan membiayai modal usaha dari utang. Dari hasil ekspansi usaha itu, perusahaan bisa mencetak margin sekaligus membayar utangnya. Cara itu lazim ditempuh oleh korporasi.Bagi individu, strategi yang sama juga ditempuh. Fasilitas kredit alias utang dalam beragam kemasan atawa produk makin akrab di kehidupan kita sehari-hari.Berani bertaruh, sekarang ini jarang sekali kita menemui kenalan atau kolega yang tidak memiliki tanggungan utang. Kartu kredit, kredit pemilikan rumah, kredit pemilikan kendaraan, kredit modal kerja, kredit tanpa agunan, hingga utang di koperasi tempat kerja adalah jenis-jenis utang yang kerap dimiliki oleh perorangan.Singkat kata, berutang tidak lagi terhitung sebagai tabu yang ditulis dalam huruf besar. Berutang bukan pantangan dalam perencanaan keuangan. Dengan berutang secara sehat atau sesuai kemampuan, kita bisa menaikkan kemampuan keuangan. Namun, di sisi berseberangan, berutang tanpa perencanaan yang baik malah bisa menjerumuskan kita ke titik kebangkrutan. “Utang bagai senjata yang bisa kita gunakan membela diri, namun bisa pula melukai si pemakai,” ujar Diana Sandjaja, perencana keuangan MRE Financial & Business Advisory, beranalogi.Maka itu, sebelum memanfaatkan utang, pengenalan karakteristik diri dan kondisi keuangan mutlak kita lakukan. Jangan sampai terjadi, utang yang semula ingin Anda manfaatkan untuk menciptakan performa keuangan yang lebih baik justru berbalik menjadi sumber kesengsaraan Anda.Utang tetaplah utangKendati bisa membantu kita mendongkrak kemampuan keuangan, utang tetaplah utang. Utang sejatinya sama saja dengan barang atau komoditas biasa di pasar. Para penjualnya, yakni kreditur, membanderol produk utang yang harus dibayar si pembeli (debitur) dalam bentuk bunga kredit.Para kreditur juga berlomba menawarkan fasilitas utang dengan harga alias bunga kompetitif. Berpikir, mempelajari, dan menimbang cermat beberapa prinsip penting harus dilakukan sebelum memutuskan untuk berutang.Pertama, sama halnya dengan keputusan membeli sebuah barang, hal prinsip yang harus Anda jawab sebelum berutang adalah apakah Anda sungguh-sungguh membutuhkan utang tersebut? “Berutanglah hanya dalam kondisi mendesak dan butuh,” saran Eko Endarto, perencana keuangan Finansia Consulting.Kedua, periksa kondisi keuangan Anda. Jika memang memutuskan berutang, pastikan Anda memiliki kemampuan untuk membayarnya berikut risiko-risikonya.Kesalahan yang sering terjadi pada orang yang agresif berutang adalah mereka kurang menimbang risiko-risikonya. Baik dari risiko bunga maupun risiko kesinambungan sumber penghasilan yang digunakan untuk membayar utang. Mereka mengira, kondisi penghasilannya akan tetap stabil selamanya. Padahal, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kebangkrutan bisnis tidak bisa 100% hilang. “Jangan pernah mempertaruhkan pendapatan yang tidak pasti dengan beban pembayaran bunga yang pasti, kecuali kita memiliki skema jelas dalam menyelesaikannya,” imbuh Eko.Ketiga, cermati tawaran fasilitas utang yang hendak Anda ambil. Lakukan riset dan perbandingan dengan tawaran bunga kredit sejenis di pasar. Jangan sampai Anda tergiur berutang hanya karena terbujuk rayuan klaim bunga murah.Untuk itu, penting sekali mempelajari skema cicilan hingga Anda bisa berhitung cermat efek utang tersebut pada kondisi kocek Anda di masa mendatang.Di sisi lain, jika saat ini posisi kolom utang Anda sudah terisi berbagai macam jenis utang, memeriksa dan mengecek kesehatan utang hukumnya wajib. Apa saja yang perlu kita lakukan untuk memastikan kondisi keuangan berikut utang kita, terjaga dalam kondisi aman? Mari kita simak bersama kiat dari para perencana keuangan, sebagai berikut.Cek jenis utangUtang menilik penggunaannya bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu utang produktif dan utang konsumtif. Utang produktif adalah utang yang kita gunakan untuk membeli aset produktif. Aset produktif, yakni aset yang nilainya terus meningkat atau menghasilkan nilai yang lebih besar dari cicilan utang. Termasuk di sini adalah kredit pemilikan rumah (KPR), kredit investasi, atau kredit modal kerja.Sebaliknya, segala jenis utang yang kita manfaatkan untuk membeli aset konsumtif dinamakan utang konsumtif. Misal, kartu kredit untuk belanja barang di mal atau makan di restoran.Para perencana keuangan menyarankan, jika memang terdesak berutang, ada baiknya Anda berutang untuk pembelian aset produktif. Jika memang perlu memakai kartu kredit, pastikan penggunaannya untuk mendukung kemudahan transaksi saja, bukan sebagai kartu utang apalagi “tambahan” penghasilan.Periksa rasioSelain memeriksa jenis utang, penting bagi kita memeriksa kondisi keuangan kita secara umum. Langkah ini tak cuma penting dilakukan sebelum kita memutuskan berutang. Anda yang sudah punya beberapa fasilitas utang juga harus rajin menggelar diagnosis keuangan.Ada beberapa rumus yang bisa Anda gunakan untuk mengecek masalah utang piutang ini. Pertama, rasio utang terhadap aset, yaitu perbandingan antara total utang dibagi total aset. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan kita membayar utang. Angkanya harus lebih kecil dari 50%.Kedua, rasio kemampuan pelunasan utang (debt service ratio). Rumus ini menghitung perbandingan antara total pembayaran utang per bulan dibagi penghasilan bulanan pencari nafkah utama. “Rasionya maksimal 30%. Jika angkanya mencapai 45%, sudah dikategorikan berbahaya,” jelas Pandji Harsanto, perencana keuangan dari Fin-Ally Financial Planning and Consulting.Batas maksimal cicilan utang disepakati sebesar 30% jika itu berupa utang konsumtif. “Angkanya boleh hingga 40% jika digabungkan dengan utang produktif,” imbuh Eko.Angka itu untuk menunjukkan seberapa banyak dana dari penghasilan si pencari nafkah utama untuk membayar cicilan utang. Jadi, rasio yang dihitung bukanlah dari total penghasilan bersama suami dan istri alias joint income.Ketiga, rasio pelunasan utang non-hipotek. Angka ini untuk mengukur kemampuan pelunasan utang konsumtif. Bisa dihitung dengan membagi total pembayaran cicilan non-hipotek per bulan dengan penghasilan utama per bulan. Rasio maksimal adalah 15%. Jika ternyata angkanya melampaui 20%, itu peringatan bahwa kondisi keuangan Anda tidak sehat akibat beban utang konsumtif.Bandingkan manfaatAnda sudah mengukur rasio utang dalam buku keuangan. Agar kesehatan keuangan terjaga, perlu juga bagi kita mengukur manfaat utang yang hendak kita ambil atau utang lama yang sudah berjalan.Apakah manfaat dari berutang itu lebih besar dibandingkan dengan biaya yang timbul akibat utang itu? “Jika lebih besar biaya dibanding manfaat, maka Anda perlu merestrukturisasi utang,” saran Diana.Caranya, bisa dengan melunasi lebih cepat utang-utang yang tidak ekonomis. Bisa juga melakukan refinancing alias mengganti utang lama berbiaya mahal dengan utang baru berbiaya murah. Langkah ini jamak dilakukan oleh korporasi untuk meringankan beban utangnya.Utang-utang konsumtif ada baiknya terlebih dahulu dibereskan. Sedangkan, utang produktif bisa Anda periksa lagi biayanya. Jika memang memungkinkan, melunasi utang lebih cepat bisa menjadi langkah positif bagi keuangan Anda.Anda harus waspada jika sudah menunjukkan tanda-tanda terkena penyakit utang. Perilaku gali lubang dan tutup lubang alias menggunakan utang baru untuk menutup utang lama bisa jadi indikasi bahwa utang mulai menjerat Anda.Selain itu, ketika Anda cuma membayar cicilan minimum sebagai syarat pelunasan agar tidak default (gagal bayar), itu juga menandakan perilaku utang Anda tak sehat.Begitu juga ketika Anda menutup pengeluaran sehari-hari dengan kartu kredit karena tidak punya sumber dana lain. “Ciri lain, jika Anda tidak mengetahui total utang sendiri dan kepada siapa saja berutang,” imbuh Diana.Bereskan segera!Lantas, bagaimana jadinya jika kondisi keuangan kita sudah telanjur karut-marut akibat masalah utang? Rasio-rasio utang telah menunjukkan warna merah, apa yang harus kita lakukan?Diana memberikan beberapa tip agar masalah utang tak semakin runyam membelit Anda. Pertama, coba inventaris lagi semua utang yang Anda miliki, termasuk utang kepada keluarga dan rekan. Adapun untuk utang kepada lembaga keuangan, pastikan lagi berapa besar bunga kredit dan sudah berapa lama Anda menunggak cicilan.Kedua, buatlah prioritas pelunasan utang, mulai dari utang yang berbiaya paling besar. Ingat, biaya utang tak cuma berupa bunga, lo. Perhatikan dan hitung pula denda keterlambatan, biaya administrasi kredit, juga skema hitungan bunganya. Dari sana Anda bisa membandingkan mana utang yang paling murah dan mana yang paling mahal.Ketiga, bayarlah utang Anda di atas cicilan minimum. Tujuannya, supaya pelunasan bisa lebih cepat. Keempat, jika memang mendesak, jual saja sebagian aset Anda untuk melunasi utang-utang.Kelima, jika ternyata Anda sudah tidak mampu membayar utang, cobalah melobi kreditur. Anda bisa meminta pembuatan perjanjian agar utang Anda dijadikan cicilan tetap, tidak lagi diperhitungkan sebagai bunga berjalan. “Negosiasikan lagi bunga yang dikenakan dan jadwal pembayaran, sesuai kemampuan Anda agar tidak menunggak. Ingat, ini kesempatan terakhir Anda, jangan disia-siakan,” tandas Diana.Keenam, ketika semua utang sudah lunas, gunakan jatah cicilan utang itu untuk memulai berinvestasi. Terakhir, yang tak kalah penting, ingat-ingat saja pengalaman utang nan pelik itu agar Anda selalu berpikir matang sebelum memutuskan berutang lagi.Para perencana keuangan sepakat, meski bukan strategi tabu untuk mengerek kapitalisasi aset, berutang tetap saja bukan pilihan terbaik untuk itu. Menjalankan gaya hidup sesuai kemampuan finansial yang kita miliki adalah prinsip utama. Jika Anda sudah cukup nyaman tanpa utang, mengapa juga tergiur godaan berutang?Bagaimanapun, wajah keuangan dengan nilai utang minim adalah lebih sehat ketimbang kantong yang bolong akibat penuh utang. Jadi, sudah siap menjaga kocek sehat dari utang-utang tak sehat? Semua kembali pada pilihan Anda.Sosiolog Daniel Bell menyebut sistem pembelian dengan cara utang yang terepresentasikan oleh kartu kredit sebagai satu dari dua penemuan manusia paling menakutkan setelah mesiu.Kartu kredit bersanding dengan iklan, dalam kacamata Bell, telah mendekonstruksi paradigma berpikir masyarakat tentang prinsip pengendalian diri. Teriakan Bell tahun 1960-an itu sepertinya masih relevan diungkit di hari-hari ini.Di ranah pribadi, kita bisa merasakan sendiri gempuran varian produk kartu kredit lewat iklan. Iming-iming “kemudahan” transaksi dengan kartu kredit, mulai dari belanja baju, tiket pesawat, dan sebagainya, silih berganti menggoda.Jika Anda menilai hidup Anda bisa lebih mudah dengan kartu kredit, tak soal memutuskan memiliki kartu kredit. Kuncinya tetap pada pengendalian diri. Menggunakan dengan bijak sembari melihat celah pemanfaatan secara optimal bisa menghindarkan Anda dari jebakan pahit kartu kredit.Produk kartu kredit menawarkan keunggulan diskon harga bekerjasama dengan vendor tertentu. Alih-alih memanfaatkan diskon itu untuk keperluan konsumsi semata, mengapa tidak mencoba mengubahnya menjadi instrumen produktif?Misal, memakai kartu kredit untuk kulakan barang diskon lantas dijual kembali dengan margin di atas bunga utang. “Sistem pembelian seperti ini bisa saja dilakukan bila kita sudah tahu arus barang dagangan yang dibelijualkan, juga kepastian jumlah yang dapat dijual kembali,” kata Pandji Harsanto, perencana keuangan dari Fin-Ally Financial Planning and Consulting.Anda bisa mengejar pembayaran tagihan sebelum jatuh tempo sehingga Anda terbebas dari bunga. Alhasil, kartu kredit yang identik sebagai utang konsumtif bisa Anda ubah menjadi modal usaha. Tentu saja, itu bisa ditempuh setelah Anda cermat dan matang menghitung untung ruginya!Temuan Menakutkan Abad ModernSaya sering sedih melihat permasalahan buruh di Indonesia. Ini adalah kelompok yang sering berdemonstrasi memperjuangkan apa yang menurut mereka adalah hak sebagai pekerja. Salah satu yang sering menjadi tuntutan adalah upah minimum. Kesedihan saya bukan soal demonstrasinya, tapi soal kesejahteraan mereka. Penghasilan buruh yang meningkat tidak dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan. Sebab, para buruh memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan keuangan.Lalu, seperti berjodoh, bulan lalu saya mendapat kesempatan hadir menjadi pembicara seminar di hadapan buruh sebuah pabrik plastik. Kegiatan ini kami lakukan sebagai sebuah rangkaian kegiatan sehingga bisa betul-betul mengajak para buruh melakukan praktik perbaikan kondisi keuangan. Ada beberapa hal yang menjadi diskusi penting tersebut.Pengaturan arus kasSaat menerima penghasilan, para buruh perlu mengerti bahwa pengeluaran terbagi menjadi 4 kategori besar: tabungan atau investasi, cicilan utang, pengeluaran rutin, dan lifestyle.Mungkin ada yang tidak percaya para buruh memiliki pengeluaran lifestyle. Ternyata, bahkan di level buruh sekalipun, dengan penghasilan yang serba terbatas, lifestyle tetap menjadi masalah besar. Hasil diskusi dengan para buruh menunjukkan bahwa banyak buruh memilih untuk mementingkan biaya pulsa dan rokok daripada menabung untuk biaya sekolah anak.Salah satu cara yang sederhana untuk belajar mengatur arus kas adalah dengan sistem amplop. Sistem amplop ini bisa membantu kita memilah-milah uang berdasarkan pos pengeluaran yang ada. Dengan cara ini kita jadi bisa melihat ke mana saja uang kita pergi dan sadar akan pengeluaran setiap bulan.Tujuan finansial: rumahSaya senang sekali ketika banyak buruh ini sudah memiliki cita-cita. Orang yang memiliki cita-cita akan memiliki semangat lebih banyak untuk maju. Salah satu cita-cita yang banyak menjadi bahasan dalam kunjungan pabrik itu adalah rumah.Ya, memiliki rumah sendiri adalah sebuah kebanggaan. Kebanyakan orang akan membeli rumah dengan cara kredit bank. Maka penting kita memiliki kemampuan menabung agar bisa mengumpulkan down payment rumah yang kita inginkan.Selanjutnya soal cicilan KPR. Kita perlu membatasi total cicilan kita hingga maksimal 30% dari penghasilan bulanan. Maka, saya mengingatkan para buruh ini agar berhati-hati saat tergiur mencicil barang-barang konsumtif. Jangan sampai punya telepon seluler baru dengan mencicil, tapi tidak sanggup lagi membayarkan cicilan KPR.=Bereskan segeraSemua orang, termasuk para buruh, perlu untuk berinvestasi. Namun jenis investasi yang cocok bagi setiap orang akan berbeda-beda. Soal investasi ini, harus hati-hati. Jangan sampai masuk ke dalam produk yang mereka tidak mengerti.Jadi, rekomendasi untuk buruh di pabrik plastik ini saya batasi pada produk tabungan, deposito, emas Logam Mulia, rumah petak, atau kepemilikan ternak dan sawah. Diskusi dengan para buruh pun menjadi seru. Mereka bersemangat karena membayangkan uang yang bekerja untuk mereka.Tapi ternyata, tak bisa menganggap remeh wawasan finansial buruh. Ada beberapa yang pengetahuannya bahkan sudah lebih banyak. Saya sempat kaget karena ada di antara para buruh ini yang sudah mulai berinvestasi di reksadana!Ketiga hal penting itu tentu bisa dipraktikkan oleh semua orang dengan latar belakang yang beragam. Tapi, lalu saya pun jadi gemas. Para buruh saja bersedia melakukan perbaikan pada kondisi keuangan mereka, tapi masih banyak mereka yang karyawan, yang pendidikannya lebih tinggi, penghasilannya jauh lebih besar, masih tidak peduli pada proses perbaikan keuangan ini.Kesimpulan saya setelah beberapa kali kunjungan ke pabrik tersebut, ternyata para buruh di sana adalah orang-orang yang sangat optimistis dan ingin belajar. Tentu saja saya sangat senang karena artinya banyak harapan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan buruh. Mudah-mudahan bukan saja upahnya yang meningkat, tapi juga dibarengi dengan kemampuan meningkatkan jumlah tabungan dan investasi mereka.Tentu ada proses. Kesejahteraan tidak bisa terjadi dalam sekejap. Saya berharap, para buruh segera merasakan proses bisa menabung, berinvestasi, memiliki rumah, menyekolahkan anak, dan pensiun.Perbaikan kesejahteraan buruh adalah bagian penting dalam upaya memperkuat golongan menengah. Buruh yang sejahtera akan berkontribusi pada kekuatan ekonomi Indonesia. Kalau para buruh saja bisa mengupayakan menabung, apalagi mereka yang bekerja sebagai karyawan. Jadi, bagaimana dengan Anda? Apa yang sudah Anda lakukan untuk bisa memperkuat keuangan Anda sendiri?***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVII, 2013 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander