Titik awal superioritas tekfin



Berita akuisisi saham perbankan oleh pemain financial technology (fintech) alias teknolgi finansial (tekfin), Maret 2019, terbilang sukses menyita perhatian pelaku jasa keuangan. PT Pintar Inovasi Digital atau Akulaku resmi jadi pemegang saham Bank Yudha Bakti dengan kepemilikan saham 8,9%. Tak heran, aksi korporasi ini berhasil mematahkan stigma lama terkait hegemonitas perbankan atas tekfin. Pemain tekfin sudah tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Tentu masih segar dalam benak kita bagaimana agresivitas perbankan yang berhasrat mengembangkan lini bisnis tekfin beberapa waktu lalu. Dalam riset bertajuk "The Future-Proof Digital Bank" (2016), IDC Financial Insight menyurvei sebanyak 265 bank di 24 negara, untuk menelusuri bagaimana cara mereka melakukan transformasi digital. Salah satu temuannya ialah satu dari empat (25%) bank global mempertimbangkan untuk melakukan akuisisi tekfin.

Dari dalam negeri, sejumlah bank raksasa lokal dikabarkan rela merogoh kocek cukup dalam demi merealisasikan agenda tersebut. Skenarionya pada tahap awal perbankan mengakuisisi atau membentuk anak usaha modal ventura. Berikutnya modal ventura memberikan pendanaan kepada tekfin untuk ditukarkan dengan kepemilikan saham.


Contoh riil dari argumen ini bisa dilihat pada Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mengakuisisi BRI Ventures dan Bank Mandiri dengan anak usaha modal ventura, Mandiri Capital. Namun, aksi akuisisi semacam ini sudah tidak lagi dimonopoli oleh perbankan. Tekfin juga memiliki kesempatan yang sama. Secara historis, aksi akuisisi pelaku jasa keuangan konvensional oleh tekfin bukanlah pertama kalinya di Indonesia. Sebelum Akulaku, LINE Corporation sudah terlebih dahulu menggenggam saham perbankan Indonesia pada akhir tahun 2018.

Melalui anak usahanya LINE Financial Asia, perusahaan asal Negeri Sakura ini mengambilalih 20% saham Bank KEB Hana Indonesia. Dalam siaran persnya, LINE berniat menghadirkan layanan transfer uang di Indonesia lewat aplikasi pengirim pesan.

Mencermati pemberitaan di sejumlah media, pemain tekfin lainnya juga dilaporkan berencana mengikuti langkah serupa. Sebut saja PT FinAccel Teknologi Indonesia alias Kredivo yang digadang-gadang akan mengakuisisi perusahaan pembiayaan tahun ini.

Manajemen Kredivo menegaskan langkah ini bertujuan agar Kredivo memperoleh lisensi sebagai multifinance. Upaya tersebut cukup vital sebagai strategi anorganik Kredivo untuk mendongkrak target penyaluran kredit dalam jangka panjang.

Berkaca dari sisi ukuran usaha, kekuatan finansial Akulaku dan Kredivo memang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tech in Asia menempatkan kedua tekfin tersebut masuk dalam jajaran sepuluh besar tekfin dengan pendanaan terbesar di Asia Tenggara.

Bahkan, Akulaku menduduki peringkat teratas dengan total pendanaan US$ 145 juta, sementara Kredivo di urutan 10 (US$ 30 juta). Bermodal pundi melimpah, praktis proses akuisisi dua pemain tekfin bukanlah perkara sulit.

Menariknya, manuver yang diinisiasi Akulaku tersebut telah mencuatkan sebuah fenomena kolaborasi baru. Kerja sama perbankan dengan tekfin kini tidak lagi hanya berkutat pada skema pembiayaan bersama (joint financing), namun juga telah bergeser ke model satelit.

Dalam skema pembiayaan bersama, perbankan berperan sebagai penyedia dana dan tekfin sebagai penyalur pinjaman. Skema ini lazimnya dilakukan dengan dua alternatif pola, yaitu channeling dan executing.

Pola channeling didefinisikan sebagai pinjaman yang diberikan bank kepada nasabah melalui pemain telfin yang berlaku sebagai agen dan tidak memiliki kewenangan memutus kredit. Sedangkan. pada pola executing, pemain tekfin tercatat sebagai debitur kredit perbankan yang selanjutnya akan meneruskan kembali kredit tersebut kepada nasabah.

Di lain pihak, model satelit pada hakikatnya merupakan evolusi lebih lanjut dari skema pembiayaan bersama. Secara konsep, tekfin mengambil alih saham bank, namun tetap memberikan independensi kepada manajemen bank. Tekfin lalu akan menginjeksi sejumlah uang ke dalam modal perbankan, kemudian memvalidasi model bisnis baru lewat operasional bank, serta mendapat akses ke basis data nasabah bank.

Dalam contoh kasus akuisisi Bank Yudha Bakti, Akulaku diberitakan akan menyuntik dana Rp 500 miliar, yang digunakan bank tersebut untuk melakukan terobosan pada penyaluran pinjaman baru. Dana tersebut akan dikucurkan ketika Bank Yudha Bakti melakukan right issue pada Mei mendatang dan Akulaku bertindak sebagai pembeli siaga (standby buyer).

Layaknya simbiosis mutualisme, masing-masing pihak akan memetik keuntungan dari sinergitas tersebut. Bagi tekfin, investasi tersebut dapat dipandang sebagai taktik uji coba sebelum masuk ke segmen pasar baru tanpa ada risiko terhadap kelangsungan bisnis intinya. Sementara bagi perbankan, kerja sama ini akan menjawab kebutuhan adanya talenta inovatif, tambahan setoran modal dan tersedianya alternatif penjualan silang produk (cross product selling).

Dalam praktiknya, perbankan kelompok BUKU I (modal inti di bawah Rp 1 triliun) dan BUKU II (modal inti antara Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun) tampaknya menjadi target akuisisi paling realistis oleh tekfin. Melansir data Statistik Perbankan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kedua kelompok bank tersebut membukukan penurunan laba bersih tahun 2018, masing-masing sebesar -2,24% dan -10,72%. Namun, bank BUKU III dan BUKU IV justru mencatatkan kenaikan laba bersih pada saat yang bersamaan, yakni 17,66% dan 14,33%.

Harus diakui, layanan bank kecil, terutama BUKU I masih belum dapat memenuhi ekspektasi nasabah. Mengutip Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, bank BUKU I masih belum diperkenankan menjadi penyelenggara kartu kredit dan internet banking.

Kekosongan dua layanan ini disinyalir menjadi salah satu alasan mengapa pamor bank BUKU I kian ditinggalkan nasabah. Implikasinya, perbankan kecil akan semakin tenggelam dalam kompetisi bisnis jika tidak disokong suntikan dana segar untuk naik kelas.

Lantas menjadi topik diskursus hangat, apakah tren akuisisi bank oleh tekfin akan terus berlangsung dalam jangka panjang? Di atas kertas, belum ada pengalaman sukses maupun gagal di tingkat global dan nasional yang dapat menjadi referensi. Maklum, studi kasus untuk aksi korporasi ini belum banyak dilakukan dan relatif masih baru.

Namun, jika menggunakan parameter derasnya aliran dana asing yang masuk untuk tekfin, serta kisah sulitnya tekfin berekspansi ke luar negeri, maka besar kemungkinan tren tersebut bakal menjadi kenyataan. Dus, dengan begitu, bank kecil domestik patut mempersiapkan diri.

Remon Samora Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi