TKDN sektor listrik minta disetrum tahun depan



JAKARTA. Peluang penggunaan komponen barang dan jasa dalam negeri di sektor energi sangat besar. Namun, di sektor hulu, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) belum serius digarap.

Padahal, bila dioptimalkan, ini diyakini akan mampu menahan laju deindustrialisasi.

“Ada peluang pasar TKDN sangat terbuka. Misalnya pemerintah terus menggenjot dan mengingatkan TKDN di sektor energi dan industri lainnya. Artinya, disisi hilir ada permintaan yang akan tercipta,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Priamanaya Djan hari, Minggu (6/8).


Pria memberi contoh, dalam proyek 35.000 Megawatt (MW), dibutuhkan transmisi sepanjang 46.000 kilometer (Km). Sejak diluncurkan tahun 2015, pembangunan transmisi menyerap anggaran sebesar Rp 200 triliun untuk lima tahun.

Selain itu, program 35.000 MW menyerap investasi sebesar lebih dari Rp 1.100 triliun. Peluang itu belum termasuk TKDN hulu minyak dan gas (Migas). Artinya sampai Juni tahun ini, penyerapan komponen dalam negeri mencapai 59%, dan trennya terus meningkat.

Adapun besaran pengadaan barang dan jasa hulu migas hingga Juni 2017 saja telah mencapai US $ 3,28 juta.

Dia menambahkan, kebijakan pemerintah mendorong TKDN sudah bagus, yang mengatur persyaratan dan pengawasan implementasinya. 

Namun, kata Pria, di hulu, suplai TKDN belum optimal kebijakannya. "Tingginya permintaan di sisi hilir TKDN belum diimbangi dengan suplai dari industri," ungkapnya.

Minta tahun depan

Pria bilang, para pengusaha listrik yang tergabung dalam APLSI meminta pemerintah menggenjot TKDN ditransmisi proyek 35.000 MW tahun depan. Cara ini dianggap ampuh untuk mendorong gairah industri peralatan listrik nasional yang sedang loyo.

“Kami berharap pemerintah mendorong TKDN di transmisi 35.000 MW tahun depan. Ini salah satu langka awal mendorong gairah di industri peralatan dan konstruksi listrik nasional,” ujarnya.

Pria mengatakan, mendorong TKDN di transmisi saat ini memang cukup realistis sebab teknologi konstruksi baja sudah cukup dikuasai di dalam negeri.

Kelemahan hanya di pasokan turbin dan boiler. "Jadi, pembangkitnya dari luar, tapi kita kejar TKDN di transmisi atau di sutet itu dalam negeri saja,” terangnya.

Untuk transmisi, TKDN-nya sudah mencapai lebih dari 60%. Namun, TKDN ini perlu digenjot lagi secara maksimal sekaligus mendorong industri baja nasional.

Dia mengatakan, tahun depan, pemerintah perlu mengoptimalkan captive market peralatan listrik yang sudah tersedia di 35.000 MW. Investasi di proyek 35.000 MW sebesar lebih dari Rp 1.100 triliun. Artinya, tersedia pasar yang sangat besar.

Pria khawatir, pasar nasional yang besar ini hanya diisi dan dimanfaatkan oleh produsen peralatan listrik dari luar negeri.

Sementra impor peralatan listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan dibandingkan impor non migas lainnya impor peralatan listrik salah satu yang tertinggi pada Juni 2016 bersama impor mesin yakni sebesar US$ 289,1 juta atau 18,06%. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa nilai impor Indonesia Juni 2016 mencapai US$ 12,02 miliar atau naik 7,86% apabila dibandingkan Mei 2016. Namun sebaliknya turun sebesar 7,42% jika dibandingkan Juni 2015.

Saat ini terdapat sembilan kelompok industri yang sangat tergantung pada produsen luar antara lain industri mesin dan peralatan listrik, logam, otomotif, elektronika, kimia dasar, makanan-minuman dan pakan ternak, tekstil, barang kimia lain termasuk karet-plastik, serta pulp dan kertas. Khusus untuk kelompok industri mesin dan peralatan listrik, tingginya impor kelompok ini disebabkan adanya keterbatasan teknologi, khususnya yang memerlukan presisi tinggi sehingga masih mengandalkan principal luar, serta keterbatasan bahan baku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia