Toko Buku Gunung Agung Tutup, Ini Sejarah Toko Buku yang Ada Sejak Pasca-Kemerdekaan



KONTAN.CO.ID - Toko buku Gunung Agung tutup tahun ini. PT GA Tiga Belas, perusahaan yang membawahi Toko Buku Gunung Agung resmi mengumumkan bakal menutup seluruh toko atau outlet yang tersisa pada akhir tahun ini.

Berdasarkan surat keterangan yang diterima Kontan.co.id, Minggu (21/5), penutupan seluruh outlet diambil lantaran perusahaan tidak bisa bertahan dengan kerugian operasional per bulannya yang makin besar dan tidak sebanding dengan pencapaian penjualan.

Baca Juga: Toko Buku Gunung Agung Disebut PHK 350 Orang Secara Sepihak, Begini kata Manajemen


Direksi perusahaan mengatakan dalam keterangan tertulisnya bahwa sejak era pandemi Covid-19 perusahaan memang telah melakukan langkah efisiensi dengan menutup beberapa toko atau outlet yang tersebar di beberapa kota seperti Surabaya, Semarang, Gresik, Magelang, Bogor, Bekasi dan Jakarta.

Kemudian, pada akhir 2023 pihaknya akan menutup toko/outlet yang masih tersisa. "Keputusan ini harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar," tuturnya.

Ia menerangkan, dalam pelaksanaan penutupan outlet dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2023, perusahaan melakukannya secara bertahap dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga: Toko Buku Gunung Agung Bakal Tutup Seluruh Outletnya, Ini Alasannya

Sejarah toko buku Gunung Agung 

Sejarah toko buku Gunung Agung berawal dari tahun 1953. Pada saat itu, pendiri toko buku Gunung Agung Tjio Wie Tay (1927 - 1990), yang dikenal sebagai Haji Masagung, memulai kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, dan majalah dengan nama kemitraan Thay San Kongsie di Central Jakarta. 

Dirangkum dari laman resminya, seiring perkembangan bisnis yang semakin besar dan kompleks di awal tahun pasca-kemerdekaan, Haji Masagung mendirikan perusahaan baru yang menerbitkan dan mengimpor buku, bernama Firma Gunung Agung.

Baca Juga: Pertamina Geothermal (PGEO) Pacu Ekspansi, Green Bond Bakal Jadi Pilihan Pendanaan

Perusahaan terus berkembang dengan dukungan para penyair, penulis, cendekiawan, dan jurnalis. Di tengah segala kesulitan yang dihadapi oleh anak Indonesia yang masih sangat muda, Haji Masagung memelopori upaya membuka mata bangsa melalui buku.

Pada 1954, dia menyelenggarakan pameran buku pertama di Indonesia yang mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia. 

Pada tahun-tahun berikutnya, Haji Masagung terus mengangkat perusahaan ke ketinggian baru baik dalam standar maupun kualitas dan menjadikan perusahaan tersebut sebagai salah satu nama rumah tangga terkemuka di Indonesia.

Baca Juga: Saham Lapis Kedua & Ketiga Masih Tertinggal, Ini Rekomendasi Saham yang Menarik

Penerus toko buku Gunung Agung 

Sejak tahun 1986, pewaris bisnis Haji Masagung diteruskan anak-anaknya, yakni Putra Masagung, Made Oke Masagung, serta Ketut Masagung. Namun sepeninggal ayah mereka, bisnisnya kemudian terbagi-bagi. 

Dikutip dari Kontan.co.id (5/1/2020), Putra Masagung mundur dari Grup Gunung Agung karena alasan sakit. Ia memilih konsentrasi di bisnis toko buku saja, Toko Buku Gunung Agung. 

Tak lama berselang, giliran si bungsu Ketut Masagung juga memilih mundur dari bisnis Grup Gunung Agung dengan mendirikan toko buku sendiri, Toko Buku Walisongo. Toko Buku Walisongo yang berfokus pada penjualan buku-buku islami. 

Lokasi Toko Buku Walisongo pun masih berada di bilangan Kwitang tak jauh dari Toko Buku Gunung Agung.

Baca Juga: Kelola Terminal Kargo di Bandara Ngurah Rai, AP I Gandeng Jasa Angkasa Semesta (JAS)

Ekspansi bisnis Grup Gunung Agung dan kebangkrutannya

Sepeninggal dua saudaranya, di tangan Made Oka Masagung, Grup Gunung Agung mengembang cepat. Gurita bisnisnya mulai dari ke sektor jasa keuangan dengan memiliki Bank Arta Prima, money changer (Ayumas Gunung Agung), perusahaan investasi, dan properti serta pertambangan. 

Hanya tangan bisnis Made Oka tak sedingin ayahnya. Kelewat ekspansif membuat bisnis Gunung Agung tertambat banyak masalah. 

Baca Juga: 20 Wisata Alam dan Sejarah di Semarang untuk Akhir Pekan

Padahal di awal berdirinya, sejumlah nama besar ikut tercatat sebagai pemegang saham Gunung Agung. Misalnya Mohammad Hatta, H.B. Jassin, dan Adinegoro.

Made Oka lalu menjual 80% sahamnya kepada PT Kosgoro. Langkah itu dilakukan lantaran kelompok usaha yang didirikan ayah Oka, Haji MasAgung tersebut terbelit utang sampai Rp 450 miliar.

Sebanyak Rp 55 miliar dari jumlah itu berupa utang kepada Bank Summa. Dan sebagian besar utang sudah jatuh tempo. 

Baca Juga: Resmi Dari Kemenag, Inilah Lembaga Pengelola / Amil Zakat Legal dan Ilegal 2023

Pengalihan saham kepada Kosgoro itu kabarnya bahkan dilakukan lewat saluran telepon internasional. Kala itu Oka terbaring di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat. 

Beberapa proyek, seperti penambangan emas di Sukabumi juga dikabarkan sekarat. Nasib serupa juga menimpa sektor properti. 

Kongsi Oka dengan mantan direktur Astra dan petinggi bank saat itu di tahun 1990 tak berjalan sukses.

Baca Juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Tetapkan 146 Kapolres Baru, Ini Daftarnya

Akibatnya, utang proyek-proyek perusahaan property bernama Graha Prima sudah mencapai ratusan miliar tak tertanggungkan. 

Pada 1993, Oka pun menjual 80% kepemilikan saham atas Wisma Kosgoro di Jalan Thamrin Jakarta kepada empat yayasan yang dipimpin pengusaha Bob Hasan. 

Demikian ulasan mengenai toko buku Gunung Agung yang akan menutup seluruh gerainya pada akhir tahun ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News