KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tengah menyusun aturan mengenai pajak untuk bisnis jual beli online (e-commerce). Aturan tersebut akan terbit dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang ditargetkan rampung dalam waktu dekat. Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, tidak akan ada objek baru dalam aturan anyar itu nantinya. Menurut dia, PMK itu akan mengatur lebih kepada tata cara pemungutan atau pembayaran pajaknya. “Dalam aturan pajak e-commerce tidak ada subjek dan objek pajak baru, tapi tata cara pemungutan pajaknya saja yang baru,” kata Ken di kantornya, Senin (9/10). Ken mengungkapkan, dalam tata cara pungutan PPN, Ditjen Pajak akan melibatkan pihak ketiga, seperti toko online itu sendiri sampai jasa kurir. Pihak ketiga itu, menurut Ken, berperan untuk memungut serta melaporkan pajak. "Kita menciptakan pemungut saja. Misalnya jualan lewat platform A, maka yang punya platform ini yang potong pajaknya. Nanti ditunjuk sebagai pemotong, simple kan," katanya. Itu berarti, bila Anda berjualan misalnya lewat Lazada, Tokopedia, atau Blibli.com, maka pihak itulah yang akan memungut pajak Anda. Nah, hal ini juga bisa dilakukan oleh perusahaan jasa kurir, "Kalau cash on delivery (COD), yang nganterin (jasa kurir) yang motong pajak. Jasa kurir kan pakai platform juga," jelasnya. Skema PPh tetap Saat ini pelaku bisnis jual beli online sendiri dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang yang dijual. Tarif PPN sendiri adalah sebesar 10%. Sementara dalam hal PPh, menurut Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak, Yon Arsal tarif PPh yang dipungut akan tetap bersifat progresif sesuai Undang-undang (UU) PPh. “Kalau ada orang jualan penghasilan sudah Rp 4,8 miliar harus Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi kalau omzet usaha kurang dari Rp 4,8 miliar dalam setahun maka tarifnya 1% final,” kata Yon.
Toko online dan jasa kurir kena pajak e-commerce
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tengah menyusun aturan mengenai pajak untuk bisnis jual beli online (e-commerce). Aturan tersebut akan terbit dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang ditargetkan rampung dalam waktu dekat. Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, tidak akan ada objek baru dalam aturan anyar itu nantinya. Menurut dia, PMK itu akan mengatur lebih kepada tata cara pemungutan atau pembayaran pajaknya. “Dalam aturan pajak e-commerce tidak ada subjek dan objek pajak baru, tapi tata cara pemungutan pajaknya saja yang baru,” kata Ken di kantornya, Senin (9/10). Ken mengungkapkan, dalam tata cara pungutan PPN, Ditjen Pajak akan melibatkan pihak ketiga, seperti toko online itu sendiri sampai jasa kurir. Pihak ketiga itu, menurut Ken, berperan untuk memungut serta melaporkan pajak. "Kita menciptakan pemungut saja. Misalnya jualan lewat platform A, maka yang punya platform ini yang potong pajaknya. Nanti ditunjuk sebagai pemotong, simple kan," katanya. Itu berarti, bila Anda berjualan misalnya lewat Lazada, Tokopedia, atau Blibli.com, maka pihak itulah yang akan memungut pajak Anda. Nah, hal ini juga bisa dilakukan oleh perusahaan jasa kurir, "Kalau cash on delivery (COD), yang nganterin (jasa kurir) yang motong pajak. Jasa kurir kan pakai platform juga," jelasnya. Skema PPh tetap Saat ini pelaku bisnis jual beli online sendiri dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang yang dijual. Tarif PPN sendiri adalah sebesar 10%. Sementara dalam hal PPh, menurut Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak, Yon Arsal tarif PPh yang dipungut akan tetap bersifat progresif sesuai Undang-undang (UU) PPh. “Kalau ada orang jualan penghasilan sudah Rp 4,8 miliar harus Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi kalau omzet usaha kurang dari Rp 4,8 miliar dalam setahun maka tarifnya 1% final,” kata Yon.