Tolak Revisi UU Pilkada, Ratusan Mahasiswa UGM Lakukan Aksi Unjuk Rasa



KONTAN.CO.ID - YOGYAKARTA. Ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di Universitas Gadjah Mada (UGM) memadati kawasan utara Bundaran UGM pada Kamis, 22 Agustus 2024.

Tujuan mereka bukan sekadar berkumpul, melainkan untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi dan langkah untuk melanggengkan politik dinasti. 

Latar Belakang Penolakan Revisi UU Pilkada


Revisi UU Pilkada yang diusulkan pemerintah dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa.

Salah satu poin paling kontroversial dalam revisi ini adalah pasal yang memungkinkan calon kepala daerah yang belum memenuhi syarat usia saat pencalonan, namun akan memenuhi syarat tersebut pada saat pelantikan, untuk tetap maju dalam pemilihan.

Baca Juga: Sikap Jokowi Terhadap Polemik Revisi UU Pilkada

Poin ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan politik dinasti, terutama yang terkait dengan keluarga presiden.

Penolakan terhadap revisi UU Pilkada juga terkait dengan kekhawatiran akan semakin kuatnya cengkeraman politik dinasti di berbagai daerah.

Mahasiswa UGM, sebagai bagian dari aliansi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya di Yogyakarta, menilai bahwa revisi ini akan merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin kesempatan yang setara bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, tanpa adanya intervensi atau manipulasi dari pihak yang berkuasa.

Aksi Mahasiswa UGM: Tindak Lanjut Konsolidasi dan Mobilisasi

Aksi yang digelar oleh mahasiswa UGM ini bukanlah sebuah tindakan spontan, melainkan hasil dari konsolidasi intensif yang dilakukan pada malam sebelumnya bersama berbagai aliansi elemen masyarakat dan mahasiswa se-Yogyakarta.

Arga Luthfi, Menteri Aksi dan Propaganda Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM, mengungkapkan bahwa aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap revisi UU Pilkada yang dianggap dapat memperkuat politik dinasti dan mengancam demokrasi.

Pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB, para mahasiswa sudah mulai berkumpul di utara Bundaran UGM. Dengan mengenakan pakaian serba hitam, mereka menunjukkan keseriusan dalam menolak kebijakan yang dinilai merugikan rakyat dan demokrasi.

Setelah berkumpul, mahasiswa UGM berencana untuk bergerak menuju DPRD DIY, di mana mereka akan bergabung dengan massa aksi dari berbagai elemen lain untuk menggelar demonstrasi.

Baca Juga: Sufmi Dasco Pimpin Rapat Paripurna DPR Sahkan UU Pilkada, Bukan Puan Maharani

Rute Aksi dan Tujuan Strategis

Setelah berkumpul di Bundaran UGM, rombongan mahasiswa bergerak menuju Parkiran Abu Bakar Ali (ABA), yang menjadi titik pertemuan dengan elemen massa aksi lainnya. Aksi ini dirancang untuk berjalan secara terstruktur dengan melibatkan berbagai unsur fakultas, lembaga, dan organisasi mahasiswa di UGM.

Tujuan akhir dari aksi ini adalah DPRD DIY dan Titik Nol Km Yogyakarta, dua lokasi yang dipilih karena simbolismenya sebagai pusat kekuasaan legislatif daerah dan tempat bersejarah bagi pergerakan sosial di Yogyakarta.

Melalui aksi ini, mahasiswa UGM ingin menyampaikan pesan yang jelas dan tegas kepada pemerintah dan DPR bahwa mereka menolak segala bentuk revisi yang dapat membuka jalan bagi politik dinasti dan menggerus nilai-nilai demokrasi.

Mereka menuntut agar revisi UU Pilkada dibatalkan dan agar politik dinasti tidak dilanggengkan melalui kebijakan yang inkonstitusional.

Penolakan Terhadap Politik Dinasti: Suara Mahasiswa untuk Demokrasi

Tuntutan utama dari aksi ini adalah pembatalan revisi UU Pilkada yang dianggap "sangat kacau" dan hanya akan memperkuat politik dinasti dari kelompok elit tertentu. Mahasiswa UGM, melalui aksi ini, secara tegas menolak segala bentuk kekuasaan politik yang diwariskan berdasarkan garis keturunan, bukan berdasarkan kompetensi dan legitimasi demokratis.

Arga Luthfi menegaskan bahwa aksi ini juga merupakan perlawanan terhadap upaya pencerabutan demokrasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu melalui revisi UU Pilkada. Dalam pandangan mereka, revisi ini bukan hanya soal teknis hukum, tetapi juga soal prinsip-prinsip dasar demokrasi yang harus dipertahankan dan dilindungi dari segala bentuk manipulasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .