LONDON. Eksportir Inggris diprediksi akan menghadapi masa sulit berbisnis di kawasan Timur Tengah paska parlemen di negeri Ratu Elizabeth itu tidak mendukung intervensi militer di Suriah. Sejumlah negara di teluk Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA ) dan Qatar, yang menentang pemerintah Suriah dan aktif mendukung oposisi, merupakan bagian dari 50 besar pasar ekspor Inggris. Menurut data Badan Pusat Statistik Inggris, pada tahun 2012, negara-negara di kawasan teluk tersebut menyumbang lebih dari £10 miliar bagi perekonomian Inggris.
Namun, keputusan Inggris untuk tidak bergabung dengan serangan militer terhadap Suriah, bisa mengganggu hubungan dagang dengan negara mitra bisnisnya tersebut. Hal itu, terutama terkait kontrak perdagangan di sektor pertahanan. Pasalnya, Arab Saudi dan UEA telah mendorong negara-negara Arab lainnya untuk mendukung serangan udara pimpinan AS kepada rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad . William Patey, mantan duta besar Inggris untuk Arab Saudi, mengatakan, keputusan Inggris untuk tidak ikut campur bisa memiliki konsekuensi jangka panjang bagi hubungan dan transaksi komersial kedua negara. "Sulit untuk menggantungkan pada kontrak tertentu kepada Arab. Dari sudut pandang Arab Saudi , keengganan kita untuk berjuang bersama, akan menyebabkan Saudi meragukan kehandalan Inggris sebagai negara sekutu (AS) dan komitmen terhadap sesuatu yang mengkhawatirkan Saudi," kata William, yang kini menjadi konsultan pemerintah untuk urusan internasional. Risiko kontrol Menurut William, sikap pemerintah Inggris yang tidak mendukung invasi militer ke Suriah, akan membuat pemerintah Arab ragu bermitra dengan Inggris dan bisa berdampak dalam jangka panjang . “Ini sangat sulit menempatkan dampak langsung terhadap perdagangan. Yang pasti, ini jelas akan berdampak pada pemikiran mereka (Saudi)," kata mantan diplomat Inggris itu. David Butter, pengamat politik terkemuka di Timur Tengah menimpali, kontrak di sektor pertahanan menjadi "paling rentan" terkena dampak atas kejatuhan hubungan diplomatik Inggris dan Arab Saudi. Pada konflik di kawasan teluk sebelumnya, di mana Inggris telah mengambil peran utama seperti dalam Perang Teluk, telah menghasilkan ‘tiket besar’ untuk kesepakatan bisnis pertahanan dengan Arab. "Untuk Inggris, kontrak tersebut adalah proporsi yang sangat besar dari perdagangan dengan Arab Saudi di kesempatan pertama. Tetapi, sekarang saya memperkirakan akan ada beberapa kegelisahan dari kelompok bisnis di Inggris terhadap kepentingan di Arab Saudi," kata Butter. Butter justru melihat prospek itu akan diraih perusahaan Perancis, yang menggunakan dukungan Presiden François Hollande untuk intervensi terhadap gejolak di Suriah. Para perusahaan eksportir di Perancis akan meraih keuntungan dalam negosiasi perdagangan di kawasan Teluk. "Biasanya ada kompetisi antara Inggris dan Perancis dalam mendapatkan pasar Saudi yang tersisa, setelah Amerika mendapatkan transaksi. Saya kira Perancis akan lebih agresif ketimbang Inggris," imbuh Butter.
Perusahaan industri pertahanan raksasa Perancis, yakni BAE Systems, yang menghasilkan sekitar 14% penjualan dari Arab Saudi, sedang menunggu hasil negosiasi di Teluk . Sebaliknya, pada bulan lalu, produsen industri pertahanan Inggris justru mengatakan, ada penundaan yang berlarut-larut dalam pembicaraan dengan Arab Saudi atas pemesanan 72 unit jet tempur Typhoon. Perusahaan ini juga menunggu kesepakatan UEA untuk pemesanan 60 unit jet Typhoon. Namun, menurut Matthew Smith, Direktur Jenderal Kawasan Timur Tengah Inggris mengatakan, kontrak ekspor yang besar, terutama di sektor pertahanan selalu memiliki nuansa politis . Dia bilang, situasi di Suriah bisa menambah "lapisan lain kompleksitas" perundingan di sektor bisnis ini. "Kontrak Pertahanan di wilayah seperti Arab Saudi tidak membutuhkan ruang diskusi bagi mereka yang penuh dengan kesulitan," kata Smith .
Editor: Dikky Setiawan