Tolak Tawaran Kontrak, Pekerja Boeing Siap Gelar Aksi Mogok Mulai Jumat (13/9) Malam



KONTAN.CO.ID - SEATTLE. Pekerja pabrik Boeing di Pantai Barat AS akan mogok kerja setelah anggota serikat pekerja terbesarnya menolak tawaran kontrak. Rencananya mogok kerja pertama sejak tahun 2008 akan dimulai pada tengah malam waktu Pacific, Jumat (13/9).

Sekitar 30.000 pekerja memberikan suara untuk kontrak penuh pertama mereka dalam 16 tahun. Jumlah pekerja Boeing memberikan suara 96% mendukung pemogokan dan dari jumlah tersebut sekitar 94,6% menolak kontrak yang ditawarkan perusahaan.

Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh Asosiasi Pekerja Mesin dan Dirgantara Internasional (IAM), sedikitnya dua pertiga dari pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja harus memberikan suara mendukung pemogokan agar penghentian dapat dimulai dan kontrak ditolak.


Meskipun pimpinan serikat pekerja telah merekomendasikan agar anggotanya menerima kontrak pada hari Minggu lalu, banyak pekerja yang menanggapi dengan marah dan menuntut kenaikan gaji sebesar 40% dan menyesalkan hilangnya bonus tahunan.

Baca Juga: Boeing Serahkan 40 Pesawat pada Agustus 2024, Naik 5 Unit dari Tahun Lalu

Anggota serikat pekerja juga mengabaikan permohonan perdamaian oleh Kepala Eksekutif Boeing yang baru, Kelly Ortberg, yang telah berjanji untuk mengatur ulang hubungan ketenagakerjaan. Mereka tetap menentang rekomendasi dari para pemimpin serikat mereka sendiri. Salah satunya terkait rencana kenaikan upah yang dijamin sebesar 25% selama empat tahun.

Walaupun itu merupakan kenaikan gaji terbesar yang pernah ditawarkan Boeing, para pekerja mengharapkan kenaikan yang jauh lebih besar. Mereka juga marah karena persyaratan itu juga menghilangkan bonus tahunan.

Cai von Rumohr, analis di TD Cowen, memperkirakan aksi mogok tersebut dapat berlangsung selama lebih dari 50 hari, sesuai dengan aksi mogok sebelumnya, yang memangkas arus kas Boeing antara US$ 3 miliar - US$ 3,5 miliar.

Saat ini, Boeing sendiri juga tengah berada dalam situasi keuangan yang sulit sejak kecelakaan pada tanggal 5 Januari yang memperlihatkan kekurangan di pabrik-pabriknya dan memaksa pembuat pesawat itu untuk mengurangi produksi. Perusahaan itu mengalami kerugian besar, dan peringkat kreditnya berada satu tingkat di atas peringkat spekulatif, menempatkan pembuat pesawat itu dalam posisi yang sulit karena harus berjuang dengan beban utang yang mencapai US$ 45 miliar.

Editor: Putri Werdiningsih