JAKARTA. Perusahaan yang dikelola oleh putra bungsu almarhum presiden diktator Suharto sedang menghadapi tuntutan hukum sebesar US$ 145 juta dari beberapa perusahaan perkapalan terkenal di dunia. Perusahaan yang mengajukan tuntutan hukum itu adalah perusahaan milik miliarder Norwegia, Arne Wilhelmsen dan Arne Blystad serta perusahaan keluarga Polemis, salah satu dinasti maritim tertua di Yunani. Mereka mengaku telah menyewakan kapal pada tahun 2007 dan 2008 kepada anak perusahaan terdaftar milik perusahaan konglomerat Indonesia di Singapura, PT Humpuss. Namun, perusahaan perkapalan internasional ini gagal membayar biaya penyewaan kapal tersebut. Perusahaan konglomerat ini dikelola oleh Hutomo Mandala Putra, yang lebih dikenal sebagai Tommy Suharto.
Cabang perusahaan, Humpuss Sea Transportation yang menyediakan kapal tanker kimia dan jasa pengiriman lainnya, dibubarkan akhir Januari lalu di Singapura dan mengajukan perlindungan kepailitan di Amerika Serikat pada pertengahan Maret. Menurut keputusan hakim Pengadilan Tinggi London, Julian Martin Flaux pada September tahun 2011 lalu, Humpuss Sea Transportation harus menjual kapal-kapal dan aset kepemilikan senilai US$ 60 juta setelah para kreditur mulai berteriak-teriak karena biaya sewa kapal yang belum dibayar. Hakim itu mengatakan bahwa properti perusahaan telah dipindahkan ke entitas perusahaan Humpuss lain di Indonesia, dan bisnis di Singapura menjadi kedok bisnis yang tidak ada harganya. Kasus ini menjadi contoh tantangan utama untuk melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan dari Indonesia, negara yang berkembang pesat dan kaya akan sumber daya. Beberapa pengacara perusahaan yang menggugat kasus ini mengatakan, korupsi di pengadilan Indonesia bisa melindungi aset beberapa debitur dari pihak internasional. “Jika Anda berurusan dengan konglomerat besar dan sistem hukum yang korup, kesempatan Anda sebagai penggugat asing sangat sedikit,” ujar Marianne Brookes, seorang pengacara di London yang mewakili Empire Group, perusahaan yang dikelola oleh perusahaan keluarga Polemis. Sejauh ini, tidak satu pun kreditur yang menggunakan sistem pengadilan Indonesia untuk memperoleh kompensasi tersebut. Para kreditur telah memenangkan ganti rugi dan perintah pembekuan aset terhadap perusahaan di Singapura dan induk perusahaan di Jakarta, Humpuss Intermoda Transportasi, melalui pengadilan di London dan New York. Tapi, mereka belum menerima uang sepeser pun. Karena Indonesia tidak memberlakukan hukum asing, para penggugat di luar negeri yang telah memenangkan kasus terhadap perusahaan lokal harus mengulang kembali kasus pengadilan di Indonesia dari awal. Pengadilan Internasional dapat digunakan sebagai bukti, tapi pengadilan di Indonesia seperti yang telah diketahui, pasti memenuhi kebutuhan penggugat domestik terlebih dahulu. “Saat perusahaan internasional mendekati saya dengan hukum asing yang mereka harap bisa diberlakukan di Indonesia, saya bilang saya ragu untuk menang,” ujar Todung Mulya Lubis, salah satu pendiri biro hukum Lubis Santosa & Maramis dan Head of country branch Transparency International, organisasi yang mengukur kejujuran pemerintah. Humpuss Intermoda adalah divisi tanker kimia milik Tommy Suharto anak perusahaan PT Humpuss. Melalui holding perusahaan ini juga, Tommy memiliki hotel dan maskapai penerbangan. Sampai saat ini taipan Indonesia ini dan PT Humpuss tidak tunduk atas klaim pengadilan apa pun dalam kasus perkapalan ini. Cerita dimulai di Oktober 2007 sampai Januari 2008, Humpuss Sea Transport berencana menyewa empat kapal baru dari Empire Chemical Tanker Holdings, perusahaan yang dikelola oleh Polemis. Empire membangun kapal dan mengirimnya di awal tahun 2009. Pada saat itu, bisnis transportasi memang sedang ambruk karena krisis keuangan global. Biaya penyewaan kapal kargo kering mencapai rekor tertinggi pada tanggal 20 Mei 2008, sebelum turun 93% ke posisi terendah selama 22 tahun terakhir pada Desember 2008. Biaya ini dihitung berdasarkan Baltic Dry Index, indeks yang menghitung harga transportasi bahan baku utama melalui laut. Humpuss berhenti membayar sewa kapal ke Empire. Perusahaan Yunani, yang telah diutangi sebesar US$ 60 juta oleh Humpuss Sea Transport, telah memenangkan perintah pembekuan aset seluruh dunia milik Humpuss Sea Transport dan induk perusahaannya, Humpuss Intermoda Transportasi. Tapi perusahaan utama milik Tommy Suharto, PT Humpuss, tidak kena perintah pembekuan tersebut. Sindikat investasi Norwegia, Parbulk II, yang memiliki anggota perusahaan Blystad dan Wilhelmsen Families dan Pareto Group, menyewakan sebuah kapal kepada Heritage Maritime, cabang perusahaan Humpuss Sea Transport di Panama. Sindikat Norwegia ini juga belum menerima bayaran dari PT Humpuss. Majelis arbitrase London memutuskan pada bulan Desember 2010 bahwa mereka berhak atas kompensasi senilai US$ 27 juta. Tapi sampai saat ini keputusan majelis arbitrase juga masih belum dibayar. Hanjin Shipping, perusahaan asal Korea Selatan, juga mengatakan bahwa PT Humpuss berutang sebesar US$ 58 juta atas penyewaan kapal. Pengadilan Singapura sudah menunjuk kurator yang bertugas melikuidasi, Borrelli Walsh, yang berpusat di Hong Kong dan Singapura, untuk bisa mendapatkan kembali uang para kreditur. “Saat ini, kami bekerja sama dengan likuidator yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan kasus ini,” ujar Fredrik Platou, juru bicara sindikat Parbulk. Namun, likuidator yang ditunjuk oleh pengadilan Singapura ini tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia. Humpuss Sea Transport, perusahaan Singapura yang saat ini diawasi oleh likuidator, tidak memiliki aset lagi. Brookes, pengacara Empire Group, mengatakan kliennya percaya bahwa melakukan kesepakatan dengan entitas Singapura berarti memiliki perlindungan di bawah hukum internasional. “Tapi, perusahaan Humpuss di Singapura telah ditinggalkan bak kulit kerang. Semua asetnya telah pindah ke Indonesia. Hal ini akan sangat sulit diperkarakan di pengadilan Indonesia, di mana pihak asing tampaknya tidak mendapat tempat,” ujarnya.
Tommy Suharto tidak dapat dihubungi untuk menanggapi hal ini. Theo Lekatompessy,
chief executive Humpuss Intermoda Transportasi, juga tidak memberikan respons yang diminta melalui e-mail. Lawrence Graham, biro hukum untuk Humpuss Group di London menolak memberikan komentar, demikian juga dengan Mourant Ozannes, pengacara Tommy Suharto. Juru bicara Humpuss Sea Transport untuk likuidator Borrelli Walsh juga menolak untuk mengomentari kasus ini. Menurut Transparency Internasional, anggota keluarga Suharto memperkaya diri dengan kekayaan senilai US$ 35 miliar selama masa kepresidenan Suharto. Tommy Suharto sendiri sempat dipenjara pada tahun 2002 karena mengatur rencana pembunuhan terhadap hakim yang menjatuhkan hukuman penjara atas kasus korupsi. Ia hanya menjalankan empat tahun dari 15 tahun hukumannya.
Editor: Djumyati P.