KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pabrikan otomotif mulai melirik Indonesia sebagai lokasi basis produksi potensial untuk kendaraan listrik ataupun ekosistemnya. Yang terbaru, Toyota berencana mulai memproduksi kendaraan elektrifikasi, khususnya hybrid electric vehicle (HEV) di Indonesia pada tahun ini. Wakil Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor (TAM) Henry Tanoto mengatakan, Toyota melihat bahwa tren elektrifikasi kian hari kian baik di Indonesia. Toyota sendiri, lanjut Henry, sudah memulai memasarkan kendaraan elektrifikasi sejak 2009. Pada tiga tahun terakhir, penjualan kendaraan elektrifikasi Toyota mulai berkembang ke angka penjualan kurang lebih 1000 unit rata rata setiap tahun, menurut catatan Toyota.
“Saat ini total sudah lebih 6.200 unit mobil elektrifikasi yang sudah sudah dipasarkan di Indonesia semenjak pertama kali diluncurkan prius Hybrid tahun 2009,” tutur Henry saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (29/6).
Baca Juga: Semacom Integrated (SEMA) Optimistis Target Pendapatan di Tahun 2022 Tercapai Atas dasar optimisme akan prospek pasar itulah, Toyota kemudian memantapkan niatnya untuk mulai memproduksi kendaraan elektrifikasi di Indonesia. Henry tidak merinci model/tipe HEV mana yang akan Toyota produksi di Indonesia nantinya. “Untuk model nanti saya info kalau sudah waktunya,” jelas Henry. Keterlibatan pabrikan otomotif dalam pengembangan kendaraan listrik di Indonesia tidak terbatas di pabrikasi mobil listriknya semata. Sebelumnya, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution Ltd telah memulai pembangunan pabrik sel baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Karawang New Industry City pada September 2021 lalu. Dibangun di atas sebidang tanah seluas 330.000 meter persegi, pembangunan pabrik yang diperkirakan akan diselesaikan pada semester pertama tahun 2023, sementara produksi sel baterai secara massal di fasilitas baru ini diharapkan dapat dimulai pada semester awal tahun 2024. Saat beroperasi secara penuh, fasilitas ini ditargetkan dapat memproduksi 10 GWh sel baterai lithium-ion dengan bahan katoda NCMA (nikel, kobalt, mangan, aluminium) setiap tahunnya. Angka tersebut diproyeksikan cukup untuk memenuhi kebutuhan 150.000 unit BEV. Head of Public Relations PT Hyundai Motors Indonesia (HMID), Uria Simanjuntak mengatakan, Hyundai optimistis dalam melihat prospek pasar kendaraan listrik di Indonesia. Optimisme tersebut menguat seturut capaian Surat Pemesanan Kendaraan (SPK) yang berhasil HMID kantongi dari produk IONIQ 5 yang baru diperkenalkan dalam perhelatan IIMS 2022 akhir Maret lalu. “Sampai saat ini pemesanan IONIQ 5 sudah mencapai hampir 2.500 SPK sejak diperkenalkan pertama kali di IIMS 2022,” ungkap Uria kepada Kontan.co.id (29/6). Pengamat Otomotif, Bebin Djuana optimistis, minat pabrikan untuk memproduksi kendaraan listrik di Indonesia akan semakin besar dalam 1-2 tahun ke depan. Hal ini seiring pengoperasian pabrik baterai listrik di Indonesia yang diperkirakan dimulai pada 1-2 tahun ke depan.
Baca Juga: Cemaskan Permintaan Lesu, LGES Timbang Ulang Rencana Pembangunan Pabrik di Arizona “Kita tahu 40% dari harga kendaraan mobil listrik adalah baterai. kalau baterainya ada di Republik Indonesia kenapa tidak pabriknya ada di sini,” ujar Bebin. Untuk itu, Bebin menilai, pemerintah perlu menyukseskan pengembangan industri baterai listrik berikut infrastruktur pendukung kendaraan listrik jika ingin menarik minat pabrikan otomotif tuk membuat kendaraan listriknya di Indonesia, selain juga berupaya mempertahankan stabilitas ekonomi dan politik nasional. Bebin optimistis, daya beli pasar Indonesia sudah cukup mampu untuk beroleh kendaraan listrik, terlebih jika pabrik baterai listrik sudah beroperasi di Indonesia kelak. “Untuk harga (kendaraan listrik), saya lihat sudah mulai bisa menerima, walaupun kita berharap dengan bisa diselesaikannya dalam kurun waktu 2 tahun pabrik baterai, ini harga kendaraan listrik bisa secara realistis bisa ditekan lagi,” tutur Bebin. Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara menilai, upaya percepatan penggunaan kendaraan listrik di Indonesia bukannya tanpa tantangan. Kukuh menuturkan, pasar Indonesia umumnya mau membeli kendaraan roda empat yang harganya di bawah Rp 300 juta. Alhasil, volume permintaan terhadap kendaraan listrik yang harganya bisa mencapai Rp 700 juta cukup terbatas. Di sisi lain, terdapat pula tantangan lain seperti proses adaptasi yang bisa memakan waktu dan juga ketersediaan infrastruktur penunjang.
“Masyarakat harus terbiasa juga dengan teknologi baru, dan itu makan waktu. Perlu dipertimbangkan juga, infrastrukturnya seperti apa,” kata Kukuh. Dengan kondisi tantangan-tantangan yang ada, Kukuh menilai bahwa faktor permintaan menjadi aspek yang lebih penting ketimbang insentif dalam menggaet minat pabrikan otomotif agar mau membenamkan investasi kendaraan listrik di Indonesia. “Ujungnya adalah kemudian pasarannya ada atau enggak. Diberi insentif kalau kemudian kendaraan atau produknya enggak ada yang beli kan juga repot,” imbuh Kukuh. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi