KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Transaksi Bursa Karbon (Indonesia Carbon Exchange) sampai dengan Jumat (6/10) masih belum ramai. Melansir Laporan Perdagangan Harian di laman resmi IDXCarbon, Jumat (6/10), tidak tercatat adanya transaksi dari 17 pengguna jasa yang ada. Adapun harga karbon di pasar reguler, baik itu harga pembukaan dan harga penutupan tidak berubah yakni di Rp 69.600 per unit (tCO2). Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, tidak adanya transaksi yang berjalan setelah euforia perdagangan perdana usai, dipicu tidak adanya permintaan (demand) dari perusahaan yang menjadi pihak pembeli dalam bursa karbon.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, bursa karbon merupakan platform perdagangan di mana aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand) sangat pengaruh.
Saat ini, Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE), sebagai anak usaha Pertamina sekaligus agregator pasar karbon di Pertamina Group, adalah satu-satunya penjual yang bertransaksi di IDXCarbon.
Baca Juga: Setelah 4 Hari Perdagangan Sepi, Bursa Karbon Kembali Riuh Pertamina NRE memiliki kredit karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi Lahendong Unit 5 dan 6, dengan volume sekitar 864 ribu tCO2e, yang dihasilkan selama periode 2016 – 2020. Kredit karbon ini telah memenuhi standar nasional yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Adapun sudah ada 17 perusahaan sebagai pihak pembeli unit karbon yakni PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank DBS Indonesia, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT BNI Sekuritas, PT BRI Danareksa Sekuritas (bagian dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk). PT CarbonX Bumi Harmoni, PT MMS Group Indonesia, PT Multi Optimal Riset dan Edukasi, PT Pamapersada Nusantara, PT Pelita Air Service, PT Pertamina Hulu Energi, PT Pertamina Patra Niaga, PT Truclimate Dekarbonisasi Indonesia, dan PT Udara Untuk Semua (Fairatmos). “Sekarang supply sudah ada, tetapi demandnya ini siapa? Seharusnya pihak pembeli merupakan pelaku usaha yang kena kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
(GRK) misalnya yang hari ini sudah ditentukan ialah 99 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun perusahaan yang
di bursa karbon saat ini ialah perusahaan yang sifatnya volunteer (sukarela),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (8/10).
Fabby menjelaskan, 99 unit PLTU yang akan terlibat dalam bursa karbon saat ini dalam proses
pemenuhan tingkat batas atas emisi yang ditentukan di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik. Di tahun depan, 99 unit PLTU akan melaporkan hasil perhitungan usahanya selama setahun belakangan, akankah mereka dapat memenuhi tingkat batas emisi yang ditetapkan. Jika tidak bisa memenuhi batas atas emisi, pembangkit batubara bisa membeli kredit dari bursa karbon dalam rangka pengurangan emisi karbon (carbon offset).
Nah dalam pelaksanaan bursa karbon hari ini, tidak ada perusahaan yang berkewajiban menurunkan emisi gas rumah kaca. Jadi pembelian kredit karbon pada perdagangan pertama bersifat sukarela.
Misalnya saja, Bank Mandiri membeli 3.000 ton karbon bersifat
volunteer karena ingin melakukan offset emisi gas rumah kacanya. Begitu juga motif pembelian kredit karbon oleh Pertamina Patra Niaga senilai Rp 922 juta atau setara 19.989 ton karbon.
“Begitu beli kan bisa berlaku untuk setahun, sebab orang menghasilkan emisi gas rumah kaca dihitung setiap tahunnya. Jadi tidak heran kalau bursanya menjadi sepi karena tidak ada lagi yang membeli,” ujarnya.
Secara umum, Fabby menilai, bursa karbon memang tidak se-liquid bursa saham karena tujuan pembelian kredit karbon bukan untuk mendapatkan keuntungan setiap harinya, tetapi lebih kepada usaha menurunkan emisi.
Dorong Transaksi Bursa Karbon Adapun pelaksanaan bursa karbon erat kaitannya dengan pajak karbon. Hubungannya, jika pajak karbon belum juga dilaksanakan pada industri, kewajiban penurunan emisi GRK menjadi tidak jelas, dan dipastikan bursa karbon akan terus sepi.
Fabby menjelaskan, pajak karbon dan bursa karbon merupakan nilai ekonomi karbon. Bedanya, pajak karbon dibayar dalam bentuk pajak, sedangkan bursa karbon pembelian kredit untuk penurunan emisi melalui bursa, sehingga tidak harus membayar pajak.
Konsep pajak karbon, pemerintah akan menetapkan batas emisi yang harus dipenuhi industri. Jika tidak bisa menurunkan emisi GRK dengan upaya sendiri dan membeli kredit di pasar sekunder (bursa karbon), sisa emisi tersebut harus dibayarkan dalam bentuk pajak karbon.
Namun sayang, hingga saat ini pemerintah belum kunjung membuat kebijakan yang terang terkait pelaksanaan pajak karbon.
IESR menduga, bursa karbon yang dijalankan pemerintah saat ini untuk mengantisipasi pelaku usaha yang akan dikenakan kewajiban penurunan emisi. Lewat wadah yang sudah berjalan, pelaku usaha sudah mengetahui cara konkret untuk menurunkan emisi, yakni membeli kredit di pasar sekunder tersebut.
Atau bisa jadi, bursa karbon ini dibuat untuk menampung kredit karbon dari proyek penurunan emisi GRK yang sudah marak di Indonesia yang kreditnya justru dijual di luar negeri seperti ke Singapura atau Eropa.
Fabby menilai, supaya pelaksanaan bursa karbon berjalan baik, pemerintah harus menetapkan industri apa saja yang dikenakan kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca, di luar sektor pembangkit listrik.
“Seharusnya mengeluarkan peta jalan di tahun ini. Setelah keluar nilai ekonomi karbon, UU perpajakan yang ada pajak karbon seharusnya menyusun peta jalan untuk penerapan penurunan emisi GRK,” umbuhnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyatakan, penerapan pajak karbon belum diperlukan saat bursa karbon berjalan. Pasalnya, pemerintah masih menyiapkan roadmap untuk pelaksanaan pajak karbon.
Dalam melaksanakan pajak karbon, pemerintah juga harus memastikan kebijakan ini tidak menganggu pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga penciptaan lapangan kerja.
“Perekonomian kita saat ini punya peluang dari pasar karbon, artinya seluruh dunia berpartisipasi menurunkan emisi di Indonesia. Kalau pajak karbon, Indonesia bayar pajak karbon, ini sangat beda. Makanya kita lihat mana insentif mana instrumen,” ujarnya ditemui disela acara The 9th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition di Jakarta Convention Center, Rabu (20/9). Dia menyatakan, Kementerian Keuangan akan memastikan pasar karbon berjalan terlebih dahulu dan pajak karbon belum dibutuhkan.
Baca Juga: Sudah Beli 3.000 Ton Karbon, Bank Mandiri Nantikan Turunan POJK Bursa Karbon Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat