Transaksi e-Commerce perlu diperhatikan



Kendati menuai keraguan dari para ekonom, pemerintah menilai asumsi makro dan target penerimaan negara yang dicantumkan di rancangan anggaran 2018 realistis.

Menurut ekonom pemerintah, target-target itu mungkin tercapai dalam situasi ekonomi terkini. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengejar target penerimaan pajak adalah mengendus potensi yang muncul dari transaksi e-commerce.

Pemerintah terlihat optimis saat menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2018. Di saat ekonomi dunia masih penuh pertanyaan, pertumbuhan ekonomi Indonesia dirancang 5,4%


Begitu juga dengan penerimaan perpajakan 2018 dipatok Rp 1.609,4 triliun atau tumbuh 9,3% dari target APBN 2017. Di saat banyak yang menyangsikan target itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara menyatakan baik asumsi makro dan target penerimaan negara itu masih realistis.

Pemerintah tidak punya strategi khusus untuk mengejar target itu. Namun Suahasil menceritakan rencana baru untuk mencari pajak dari transaksi e-commerce. Kepada Wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo, Suahasil menceritakan tentang rencana ini.

Berikut nukilannya:

KONTAN: Pemerintah terlihat yakin dengan asumsi makro yang termuat di Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018? SUAHASIL: Ya harus yakin. Kalau ditanya soal keyakinan dari asumsi makro.

KONTAN: Bukankah angka itu sulit dicapai dalam kondisi ekonomi, dunia maupun Indonesia saat ini? SUAHASIL: Oke. Mari mulai  melihat ekonomi dunia. Tahun ini adalah kebalikan dari tren yang sudah terjadi selama lima tahun terakhir. Kalau biasanya proyeksi turun, sekarang malah kebalikan.

Lihat laporan IMF. Kalau ada kebalikan dari perekonomian dunia, atau ada perbaikan perekonomian dunia, berarti ada kenaikan dari ekspor Indonesia. Kemudian dari sisi konsumsi, kita itu stabil di kisaran 5,0% hingga 5,1%. Dengan perbaikan, kita pertahankan inflasi agar daya beli meningkat dengan baik.

Tahun depan, kita bisa tingkatkan 5,1% dari sekarang ini 5,0%. Dan, konsumsi itu sudah menjelaskan kira-kira 58% dari total PDB Indonesia. Lalu investasi ada 32%. Jadi ini cukup besar.

Kalau kita mau mempertahankan dari konsumsi dan investasi, plus ekspornya membaik, berarti kita mempunyai basis.

KONTAN: Jadi asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4% sudah cukup relevan? SUAHASIL: Dalam APBN-P 2017 dikatakan 5,2% itu menjadi basis kita. Kalau dunia internasional atau negara lain melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,0% di semester pertama, mereka iri.

Mereka benar-benar iri. Karena di antara kelompok negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia, atau G-20, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0% itu berada di nomor tiga. Itu yang membuat iri negara-negara lain.

KONTAN: Bukankah perlambatan ekonomi China melambat dan kenaikan bunga The Fed masih jadi tantangan? SUAHASIL: Itu menjadi risiko. China menjadi risiko. Tentu, itu ada efeknya. Kami sudah memperhatikan, dan mempertimbangkan risiko itu. Karena itu kami harus menjaganya.

Tetapi kami melihat ada perbaikan yang sebenarnya di dunia. Amerika mulai membaik. Fed rate katanya masih sekali lagi naik di tahun ini. Tetapi tiga bulan lalu, banyak orang yang yakin kalau kenaikannya di bulan September.

Tetapi, sepertinya itu enggak terjadi. Kalau melihat kemarin Bank Indonesia (BI) menurunkan bunga, artinya ada kepercayaan diri dari otoritas moneter kita. Ini kami perhatikan dalam menaruh asumsi-asumsi makro.

Sekarang, asumsi makro ini memang dipakai untuk merancang dalam APBN. Karena untuk merancang angka-angka dalam APBN, asumsi makro harus realistis. Itu kriteria penting.

Namun bersamaan dengan realistis itu, asumsi makro juga berfungsi menunjukkan rasa optimisme terhadap perekonomian dan masyarakat. Optimisme juga tidak boleh kebablasan.

Jangan sampai itu di luar jangkauan Indonesia. Jadi saat menyusun asumsi makro, kami memikirkan sampai mana jangkauan kita dan mau ditaruh di mana optimisme itu. Jadi, angkanya harus cukup realistis sekaligus memberikan sinyal kalau kita optimistis.

KONTAN: Artinya, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% itu bisa diraih? SUAHASIL: Optimistis itu bisa tercapai kalau kita bekerja keras dan mempunyai environment yang kondusif. Kira-kira seperti itu cara pandangnya dalam menyusun asumsi makro.

KONTAN: Kalau soal penerimaan dalam APBN, banyak yang mengatakan targetnya terlalu tinggi?? SUAHASIL: Soal penerimaan pajak, kalau pakai angka APBN-P 2017 ke APBN 2018, penerimaan pajak tumbuh 9,3%. Itu perpajakan ya, yang artinya pajak dan kepabeanan cukai.

Angka 9,3% itu cukup masuk akal. Kenapa? Karena pertumbuhan perekonomian diproyeksikan sebesar 5,4%. Inflasi di sekitar 3,5%. Jadi dari sisi nominal, ekonomi tumbuh 5,4% ditambah 3,5% ya menjadi sekitar 9%. Sehingga perpajakan tumbuhnya 9%. Itu in-line dengan ekonomi nominal yang akan terjadi.

Kalau begitu, perpajakan itu tumbuhnya cuma nominal dong. Lalu, bagaimana peran pemerintah dalam mendorong pertumbuhan? Ini pertanyaan yang biasa muncul selanjutnya.

Nah, mari balik lagi ke filosofinya yang namanya pertumbuhan ekonomi atau GDP yang diciptakan pemerintah hanya sekitar 15%–16% saja. Sisanya itu diciptakan dunia usaha, oleh masyarakat secara umum.

Karena itu, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi itu investasi, konsumsi masyarakat dan ekspor. Kalau pemerintah itu ada proporsinya, makanya target penerimaan hanya 9% saja.

Untuk pajaknya saja, non-migas tumbuh 11,1%. Apakah ini masuk akal? Lihat saja nominal pertumbuhan ekonomi. Sisa 2% itu adalah extra effort dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

KONTAN: Apa pengusaha tidak menjadi takut karena target penerimaan pajak yang dipasang terlalu tinggi? SUAHASIL: Pengusaha tidak perlu takut target itu terlalu tinggi. Karena target tumbuhnya cuma 11%. Untuk pengusaha yang normal, dalam anggarannya, berapa target penerimaan yang dipasang di tahun depan?

Dari penerimaannya itu kalau pertumbuhan ekonomi  tumbuh 9%, lalu si pengusaha juga memasukkan pertumbuhan penerimaan 9%, itu kan artinya berkembang tetapi flat.

Karena sesuai nominal pertumbuhan ekonomi 9%. Seharusnya dia menginginkan lebih dari 9%. Maka dia akan menekan biaya dan menggenjot pertumbuhan agar bisa lebih dari 9%. Itu kalau pengusaha normal.

KONTAN: Apa ada strategi  khusus untuk mencapai target penerimaan pajak? SUAHASIL: DJP akan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi. Jadi, DJP mesti keluar dan menjangkau hingga lebih banyak lagi orang yang membayar pajak, misalnya kelompok-kelompok profesional.

Banyak profesional yang belum masuk. Apakah semua dosen mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)? Semoga saja iya. Tetapi mungkin, ada yang belum. Begitu juga dengan dokter, pengacara, artis, seniman dan profesi lain.

Apa semuanya sudah punya NPWP?  Ini yang harus dikejar. Termasuk pengusaha, kecil, menengah dan atas. DJP juga mengejar, kalau sudah punya NPWP pajak, bagaimana agar ketaatannya semakin baik. Bagaimana agar Surat Pemberitahuan (SPT) diisi dengan baik, hingga pajak yang dibayarkan sesuai dengan aturan.

KONTAN: Ada keinginan untuk mengejar pajak dari e-commerce. Memang, seberapa besar potensinya? SUAHASIL: Jadi kalau e-commerce, cara pandangnya adalah ini model bisnis yang baru. Tetapi esensinya sama, yaitu fasilitas transaksi.

Sebagai sesuatu yang memfasilitasi transaksi, tetapi dengan gaya yang baru, pekerjaan rumah paling besar adalah memastikan bahwa gaya baru mendapat perlakuan yang sama dengan yang konvensional.

Jangan sampai kalau transaksi via e-commerce bisa tidak bayar pajak. Padahal, kalau konvensional bayar pajak. Kalau situasi itu terjadi, maka yang konvensional akan ditinggal.

Dan bisnis konvensional akan rugi, padahal sudah investasi. Bukan kondisi ini yang kami ingin. Maka kami mencari cara bagaimana  e-commerce dan bisnis yang konvensional bisa sama-sama tumbuh, karena mereka sama-sama membayar pajak. Ini yang harus dipastikan oleh DJP.

KONTAN: Memang seperti apa analisis tentang pemungutan pajak di e-commerce? SUAHASIL: Di sini kita mulai bicara tentang berbagai variasi dari e-commerce. Ada banyak variasi yang harus diperhatikan. Misalnya beli di e-commerce, seperti Amazon.

Barangnya sudah di Indonesia, transaksinya di Indonesia, tetapi perusahaannya di luar negeri. Bagaimana kami memastikan pajak sudah dibayar? Kalau beli baju di toko konvensional, pembeli kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tetapi kalau beli di Amazon atau E-bay, bagaimana? Kalau beli baju mungkin akan kena bea masuk. Tetapi model bisnis ini kan tidak harus barang fisik. Bisa saja, yang dibeli melalui e-commerce itu adalah file.

Misalnya konsultasi dokter, kirimnya melalui file. Kalau seperti ini, bagaimana bisa dicegat? Misal, kalau teknologi 3D printing semakin bagus, semakin berat tantangannya.

Bisa saja nanti baju yang dikirim itu bukan dalam bentuk fisik yang sudah jadi,  tetapi baru berupa desain. Kalau model seperti ini semakin membesar, maka harus ada yang memastikan baju yang beli di toko konvensional dengan beli desain 3D tadi, harus sama-sama bayar pajak.

Untuk memastikan itu, kita harus mengembangkan logika yang tepat. Yang harus di-trace bukan barangnya, tetapi transaksinya. Karena apapun barangnya, bagaimanapun pengirimannya, kalau memakai model bisnis yang tadi, bisa saja lewat dari kejaran kami.

Nah, kami bisa masuk dari National Payment Gateway (NPG). Dari pintu ini, kami bisa tahu persis bagaimana transaksi berseliweran. Jadi sistem NPG ini bisa menjadi pintu yang memfasilitasi uang berseliweran.

Ini bisa kami pakai untuk melihat transaksi. Mindset harus berubah dari kepabeanan yang melihat barang yang masuk menjadi kepabeanan yang melihat transaksi yang terjadi.

KONTAN: Apa itu sudah bisa dilaksanakan? SUAHASIL: Ini memang membutuhkan infrastruktur,  dan regulasi yang harus diperbaiki. Ini sudah tercantum di paket kebijakan ekonomi ke-14. Di paket itu, ada panjang uraian tentang e-commerce, termasuk pajaknya.

KONTAN: Belum bisa diterapkan di 2018? SUAHASIL: Pemerintah terus mencari bentuk yang pas. Tetapi e-commerce yang sekarang ada, tetap akan dijangkau dalam kepatuhan perpajakannya. Sudah banyak e-commerce yang patuh pajak. Mereka sudah mulai mengetahui bagaimana membayar pajak.

KONTAN: Bagaimana rencana penerapan cukai plastik? SUAHASIL: Mudah-mudahan itu bisa segera kami bahas dengan DPR. Mudah-mudahan pembahasan bisa berjalan di masa sidang tahun ini, dan bisa segera diterapkan.

KONTAN: Dari kesepakatan Freeport kemarin, apa kita bisa mendapat lebih dari kesepakatan terdahulu? SUAHASIL: Diskusi masih berjalan, hitung-hitungan masih dilakukan. Yang pasti dengan perubahan dari kontrak karya ke IUPK, maka ketentuan penerimaan negara yang diatur dalam kontrak karya akan berakhir. Ini bisa menjadikan penerimaan lebih

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Riwayat pendidikan: - S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia - Master of Science Cornell University USA - Doctor of Philosophy University of Illinois Urbana-Champaign USA

Riwayat pekerjaan: - Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI) - Kepala Program Studi Pascasarjana Ilmu Ekonomi UI - Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI - Anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal - Wakil Ketua Komite Pengawas Pelaksanaan Otonomi Daerah - Anggota Dewan Komite Ekonomi Nasional (KEN) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 11 Septe,ber 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Transaksi e-Commerce Perlu Diperhatikan"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga