KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat hingga akhir 2023 program perhutanan sosial telah mencapai akses kelola sebesar 6.371.773,42 hektare (6,37 juta hektare). Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Bambang Supriyanto menjelaskan, program perhutanan sosial adalah sebuah sistem pengelolaan hutan lestari. Kelompok masyarakat atau masyarakat hukum adat menjadi pelaku utama untuk mengelola hutan negara atau hutan adat untuk kesejahteraan.
Baca Juga: Transisi Ekonomi Hijau Bisa Dorong Pendapatan Masyarakat Hingga Rp 902,2 Triliun Hingga saat ini, perhutanan sosial tersebut melibatkan 9.642 Unit Surat Keputusan (SK) dan memberikan manfaat langsung bagi 1.287.710 Kepala Keluarga. Selain itu, penetapan hutan adat seluas 250.971 hektare, melibatkan 131 Unit SK, memberikan kontribusi positif bagi 75.785 Kepala Keluarga. Bambang menambahkan, perhutanan sosial bukan hanya sekadar solusi untuk persoalan tenurial. Akan tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Dorong Pembiayaan Aksi Iklim secara Mandiri dengan Peluncuran Wakaf Hutan Program ini diantisipasi dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan melalui usaha hasil hutan, serta menciptakan sentra ekonomi lokal dan daerah. "Saat ini, sudah terbentuk 10.249 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial, yang mencakup berbagai kelas seperti
Platinum, Gold, dan
Silver, dengan total transaksi ekonomi mencapai Rp 1,08 triliun," ujar Bambang dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/12). KLHK mencatat, keberhasilan perhutanan sosial juga tercermin dalam berbagai model pengelolaan, termasuk pola
agroforestry, silvofishery, dan
silvopastura. Selain memberdayakan masyarakat melalui sektor hasil hutan, program ini juga berhasil menangani 570 kasus tenurial yang terjadi, menunjukkan perannya sebagai solusi konflik lahan di tingkat tapak.
Baca Juga: Inilah Cara Ikut Perdagangan Karbon Untuk Masyarakat Adat & Perhutanan Sosial Bambang menyebut, perhutanan sosial juga ditopang dengan pemerataan ekonomi, pendampingan dengan tata kelola kelembagaan, tata kelola hutan dan tata kelola ekonomi. Harapannya masyarakat yang miskin bisa dientaskan, masyarakat mampu mengelola kawasan hutan dengan baik. Serta, pemerintah menyediakan akses permodalan dalam bentuk KUR maupun skema lainnya termasuk juga untuk oftakkernya. "Sehingga desa menjadi desa yang bertumbuh gini ratio antara desa dan kota menjadi kecil, tidak ada urbanisasi tetapi ruralisasi itu yang akan terjadi kedepan,” terang Bambang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto