JAKARTA. Mulai tahun depan, pemerintah akan mendorong penggunaan mata uang selain dollar AS dalam perdagangan Indonesia dengan China. Kebijakan ini menjadi upaya memperkuat cadangan devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Bobby Hamzar Rafinus mengatakan, saat ini kesepakatan penggunaan mata uang yuan (renminbi) dan rupiah dalam perdagangan antara Indonesia dengan China sudah ada.
Kesepakatan itu adalah penandatanganan perpanjangan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) pada 1 Oktober 2013 antara Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dengan Gubernur People’s Bank of China, Zhou Xiaochuan. Kerjasama itu senilai 100 miliar yuan atau setara Rp 175 triliun. Perjanjian berlaku setiap tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali. Kerjasama itu diperkuat dengan kesepakatan pinjaman senilai total US$ 3 miliar dari Bank Pembangunan China ke Bank Mandiri, BNI dan BRI pada September lalu. Pinjaman diberikan dalam jangka waktu 10 tahun, dan 30% dari dana tersebut akan diberikan dalam mata uang renminbi. Dengan kesepakatan itu, sebenarnya Indonesia dan China sudah bisa menggunakan mata uang selain dollar AS dalam perdagangannya saat ini. "Hanya saja pelaksanaannya tergantung hubungan dagang antar pengusaha dan perbankan masing-masing negara," kata Bobby, kepada KONTAN, Kamis (12/11). Selain tergantung pihak swasta, pemanfaatan kesepakatan itu juga tergantung perkembangan nilai tukar global. Menurut Bobby, untuk mendorong pemanfaatan kesepakatan ini, pemerintah akan membuat aturan khusus. Aturan mengikat Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady menjelaskan, dengan perjanjian BCSA ini, jika pengusaha Indonesia mengimpor barang dari China, pembayarannya bisa menggunakan rupiah, tak perlu memakai dollar AS. Jika China mengimpor barang dari Indonesia, pembayarannya menggunakan renminbi. Namun, menurut Edy, pembahasan mengenai skema ini belum final, termasuk apakah akan berlaku mengikat pada tahun depan. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution berharap kebijakan ini bisa segera diterapkan karena menguntungkan bagi pelaku usaha di Indonesia, terutama importir. Darmin membenarkan transaksi perdagangan antara kedua negara tidak perlu menggunakan dollar AS. "Arahnya transaksi menggunakan renminbi dan rupiah, bukan dollar AS," katanya. Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih menilai, skema ini bisa berefek positif bagi devisa Indonesia.
Apalagi impor Indonesia dari China mencapai 23% dari total impor non migas. Artinya, skema transaksi ini bakal mengurangi permintaan dollar AS di dalam negeri. Namun, dia mengingatkan diantisipasi sejumlah dampak negatif dari penggunaan renmimbi, apalagi Indonesia masih menghadapi defisit dalam berniaga dengan China. "Jumlah yuan terbatas, beda dengan dollar AS yang melimpah," kata Lana. Dengan kondisi itu jika permintaan yuan meningkat, biaya untuk menggunakan yuan lebih mahal dari dollar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia