Transaksi obligasi bisa terimbas BBM



JAKARTA. Kenaikan transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder berlanjut hingga awal kuartal keempat tahun ini. Meski demikian, sentimen kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kemungkinan melemahkan minat investor bertransaksi obligasi di sisa tahun ini.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, volume transaksi obligasi korporasi berdenominasi rupiah sepanjang Oktober mencapai Rp 16,6 triliun, naik 49,8% dibandingkan September lalu. Sekadar catatan, tren kenaikan transaksi mulai terjadi mulai Agustus lalu. Namun, berbanding terbalik dengan pasar obligasi pemerintah pada Oktober lalu, yang justru turun 0,7% menjadi Rp 269,2 triliun.

Global Markets Financial Analyst Manager Bank Internasional Indonesia (BII), Anup Kumar menilai, kenaikan transaksi obligasi korporasi bukan berasal dari switching obligasi pemerintah. “Jika dilihat, volume transaksi obligasi korporasi naik Rp 5 triliun, sedangkan obligasi pemerintah menurun Rp 2 triliun.


Dari segi nominal tidak bisa dibilang ada peralihan,” ujarnya. Kumar lebih melihat, terjadinya kenaikan transaksi obligasi korporasi akibat aksi investor mengatur ulang portofolio mereka, terutama investor sektor perbankan. Menurutnya, perbankan biasa meracik ulang komposisi obligasi korporasi setiap tiga bulan. Makanya, ada aksi pembelian secara akumulatif pada Oktober lalu.

Nilai transaksi obligasi korporasi per Oktober bahkan merupakan yang tertinggi sejak Juni 2014. "Mulai November-Desember transaksi akan kembali sepi. Apalagi pasar masih menunggu kepastian kenaikan harga BBM,” prediksi Kumar.

Analis BNI Securities, I Made Adi Saputra mengatakan, peningkatan transaksi sepanjang Oktober didukung penerbitan emisi anyar. Ini memacu investor meracik ulang portofolio yang akan jatuh tempo. “Investor menjual portofolio yang akan jatuh tempo, dan membeli emisi baru,” jelasnya.

Sebagai gambaran, BEI mencatat, sepanjang Oktober, ada tambahan emisi obligasi korporasi senilai Rp 7,91 triliun. Jumlah ini berasal daripenerbitan 8 seri obligasi dan 1 seri sukuk ijarah. Koleksi di pasar primer Kumar menjelaskan, sebaiknya saat ini investor menahan pembelian obligasi korporasi di pasar sekunder.

Ia menyarankan, investor berburu surat utang ini di pasar primer atau saat penawaran awal. Dengan membeli di pasar primer, investor akan diuntungkan dengan jumlah emisi yang cukup besar dan tawaran kupon yang lebih menarik. Ia menduga, demi menarik minat investor, perusahaan akan menawarkan emisi utang dalam jumlah besar dan kupon yang menarik di tengah rencana kenaikan harga BBM.

“Koleksi obligasi dengan minimal rating perusahaan A, dan tenor pendek, sekitar 2 tahun,” saran Kumar. Made berbeda pandangan. Ia melihat perusahaan kemungkinan akan menahan penerbitan utang di sisa tahun ini. Pasalnya, pasar cenderung tidak kondusif menjelang dan pasca kenaikan harga BBM.

Jika ini terjadi, ia memprediksi, transaksi di pasar sekunder justru berpotensi naik. Maklum, investor akan lebih sulit mendapat obligasi di pasar primer. Made menyarankan, investor yang berniat membeli obligasi korporasi di pasar sekunder untuk memilih obligasi yang memberikan yield lebih tinggi dibandingkan obligasi pemerintah bertenor sama.

Sementara, untuk obligasi pemerintah, Kumar bilang, di sisa tahun ini, sebaiknya investor mempersingkat durasi portofolio menjadi sekitar 7 tahun. "Akumulasi pembelian obligasi bisa dilakukan kembali tiga bulan pasca pemerintah menaikkan harga BBM. Saat itu inflasi sudah mulai normal sehingga harga surat utang ikut pulih," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie