Transformasi Keuangan Mikro Desa



KONTAN.CO.ID - Muhammad Yunus, sang peraih Nobel, sukses mempromosikan keuangan mikro dan mengurangi kemiskinan di Bangladesh. Bisnis sosial gagasannya mampu menggalang simpanan dari kalangan keluarga miskin, guna memodali usaha keluarga miskin lainnya. Yang menarik, usaha-usaha mikro itu teruji melahirkan dokter dan sarjana dari kalangan bawah, yang bersedia kembali ke desa melayani kesehatan tetangganya.

Di Indonesia, sebenarnya memiliki semangat serupa dan telah mencuat sejak awal 1980-an dalam skema kredit mikro Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K). Pada 1993 pemerintah mengembangkan dana bergulir Inpres Desa Tertinggal (IDT) bagi keluarga tak berpunya.

Setelah krisis moneter pada 1998, skema keuangan mikro kian marak. Ada Credit Union dari kalangan lembaga swadaya masyarakat, juga Unit Pengelola Keuangan (UPK) dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).


Pesatnya perkembangan keuangan mikro menunjukkan besarnya potensi bisnis sosial di desa. Nah, kini pintu usaha ini kian dibuka lebar melalui Undang-undang Cipta Kerja. Peluang inilah yang harus segera digarap bersama-sama oleh masyarakat.

Salah satu program pemerintah pembiayaan mikro yang berumur panjang adalah Program Pengembangan Kecamatan (PPK). program ini dimulai sejak 1998, hingga bereinkarnasi menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada 2007-2014. Di dalam program ini pemerintah membentuk UPK guna mengoperasionalkan kegiatan dana bergulir beserta pemberdayaan masyarakat desa golongan terbawah.

Program ini menghadiahi dana kepada kelompok masyarakat, dengan syarat mendirikan kelompok usaha yang terdiri dari belasan warga lokal. Komposisinya 75% di antaranya dari keluarga miskin, sedangkan sisanya keluarga kelas menengah yang wajib melatih anggotanya. Dana hibah sendiri disalurkan melalui UPK, yang selanjutnya mengelola perguliran dana dari satu kelompok kepada kelompok lainnya.

Selama proses perguliran tersebut ada jasa yang dipungut berupa persentase yang sangat rendah dari pinjaman. Semasa PNPM masih menjadi proyek pemerintah, honor pengurus UPK dibayar oleh negara. Sementara hasil jasa perguliran dibelanjakan sebagai dana pemberdayaan lokal. Contohnya, dana dibelanjakan untuk membeli bahan-bahan guna memperbaiki rumah tidak layak huni.

Setelah 2014, program pembiayaan dengan bunga rendah ini turut digunakan untuk mendanai operasi UPK. Dalam operasionalnya, ternyata selalu ada sisa juga untuk disalurkan kepada warga miskin setempat.

Pada 2020 ini, paling tidak terangkum 5.300 UPK yang menggenggam dana bergulir Rp 12,7 triliun. UPK juga memiliki aset fisik senilai Rp 594 miliar. Jika dibandingkan dengan 2015 sebesar Rp 10,1 triliun, terlihat perkembangan dana kredit mikro sendiri tergolong cepat, yaitu di atas Rp 300 miliar per tahun.

Meningkatkan peran UPK

Titik penting UPK terletak pada kemampuannya menjangkau 12 juta keluarga miskin dan hampir miskin miskin di pelosok desa nusantara. Nasabahnya terus menanjak mencapai 300.000 keluarga pertahun. Tak pelak lagi, ini menjadi salah satu penggerak usaha mikro dan kecil di desa.

Persoalannya, UPK selama ini belum memiliki kepastian hukum. Posisinya masih seperti sedia kala, yakni sebagaimana saat didirikan sebagai unit kegiatan kredit mikro PNPM. Konsekuensinya adalah, keamanan pendanaannya selalu dalam risiko karena proyek telah selesai, dan bergantung kepada niat baik pengurusnya.

Lembaga UPK ini tidak memiliki organisasi resmi yang mengawasi pergerakan dana bergulir tersebut. Maka, UPK hanya bisa berkembang dari anggotanya sendiri, karena sulit untuk menjalin kerja sama pendanaan dengan pihak lain yang memiliki status legal.

Memang ada geliat pengembangan oleh beberapa pengurus, namun hasilnya justru menjauhkan sifat kepemilikan dari dana publik menjadi privat. Contohnya, membentuk badan hukum koperasi yang dimiliki anggota sendiri, atau perseroan terbatas yang mengubah aset perguliran menjadi saham pengurus.

Syukurlah, saat ini UU Cipta Kerja menyatakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) memiliki status badan hukum tersendiri. Legalitas inilah yang merayu Musyawarah Antar Desa di tiap kecamatan untuk membentuk Bumdes Bersama (Bumdesma). Lantas, UPK eks PNPM bisa mengisi posisi unit usaha dalam Bumdesma itu. Transformasi kelembagaan ini memastikan kepemilikan publik atas dana bergulir tetap terjaga.

Dalam perkembangan terakhir, bahkan Otoritas Jasa Keuangan membuka peluang untuk membina dan mengawasi unit usaha itu sebagai lembaga keuangan mikro (LKM). Masuknya OJK untuk membina dan mengawasi tentu mencerahkan, karena memastikan pengawasan rutin atas bisnis sosial keuangan mikro ini, sekaligus membina UPK sejak proses pengalihan kelembagaan menjadi LKM, hingga rutin menjaga kesehatan keuangan triwulanan.

Karena itulah, pada 21 Oktober 2020 Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan OJK memulai proses transformasi 147 UPK menjadi LKM. Aset yang dikelola mencapai Rp 594 miliar, artinya bisa melayani 600.000 nasabah keluarga miskin.

Untuk lebih mendetilkan penjagaan atas dana masyarakat, Musyawarah Antar Desa perlu menghasilkan berita acara. Ini untuk menegaskan bahwa wakil masyarakat telah menyerahkan dana eksisting ini untuk dikelola LKM Bumdesma. Berita acara menegaskan dana itu tetap milik warga, bukan penyertaan modal tiap desa di kecamatan.

Keputusan penting lainnya berupa menyalurkan keuntungan hasil perguliran dana disetor ke desa dan masuk ke dalam kategori pendapatan lain-lain. Ini dibatasi penggunaannya hanya untuk mengentaskan warga miskin.

Percontohan 147 UPK di Provinsi Jawa Timur ini akan segera diperluas untuk 5.300 UPK lainnya yang tersebar di 404 kabupaten di Indonesia. Pembinaan oleh OJK diperkirakan bakal melambungkan kinerja Bumdesma, sehingga pada akhir 2022 layak menargetkan perguliran kredit mikro desa menjadi Rp 15 triliun untuk 15 juta keluarga lapisan bawah.

Keberhasilan percontohan transformasi keuangan mikro ini hendak digunakan sebagai preseden guna memperbaiki seluruh warisan ratusan program keuangan mikro yang hingga kini masih aktif di desa-desa.

Inilah mesin raksasa baru pengentasan kemiskinan desa.

Penulis : A. Halim Iskandar

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti