Transisi Energi Perlu Akselerasi, Pembiayaan dan Teknologi jadi Isu Krusial



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia tengah berupaya mengakselerasi transisi energi di tengah impitan krisis iklim global. Pembiayaan dan teknologi masih jadi isu krusial agar transisi bisa berlangsung mulus tanpa menumbuhkan beban baru.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menegaskan, rencana pembangunan diarahkan pada strategi ekonomi hijau sebagai transformasi ekonomi. Sehingga, perlu ada adopsi model bisnis baru dan pembiayaan yang menyokong pembangunan rendah karbon.

Sebab, transisi energi memerlukan dana yang besar. Sebagai contoh, untuk memensiunkan dini PLTU batubara saja, dibutuhkan dana sekitar US$ 400 juta - US$ 500 juta per gigawatt (GW).


Jumlah itu setara Rp 6,2 triliun - Rp 7,8 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.700 per dolar AS. Dengan estimasi itu, jika ingin memensiunkan 40 GW - 50 GW PLTU di Pulau Jawa, maka diperlukan dana sekitar US$ 20 miliar atau Rp 314 triliun.

"Ada dua isu yang muncul, pembiayaan dan teknologi. Diperlukan juga pembiayaan dari multisektor, tidak bisa lagi dari cara-cara yang konvensional," terang Suharso dalam Kompas CEO 100 Live Series yang bertajuk "Pengembangan Energi Hijau dan Urgensi Program Berkelanjutan", Rabu (23/11).

Baca Juga: Menteri ESDM Ungkap Tantangan Industri Migas di Era Transisi Energi Bersih

Suharso pun menyoroti adopsi pembiayaan campuran atau blended finance dalam memuluskan upaya transisi energi. Indonesia pun berhasil menghimpun sejumlah komitmen pendanaan dalam KTT G20 di Bali, pekan lalu.

Di antaranya lewat skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan komitmen pendanaan hinga US$ 20 miliar. Pembiayaan campuran ini merupakan kolaborasi dari sektor publik dan swasta.

Suharso menekankan kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan pelaku bisnis menjadi krusial dalam transisi energi. "Sehingga nantinya tidak memberikan beban baru. Misalnya harga listrik tetap terjangkau, jadi harga ke konsumen tidak mahal," imbuhnya.

Dalam forum yang sama, Direktur Keuangan PT PLN (Persero) Sinthya Roesly mengamini bahwa kolaborasi menjadi unsur penting. Tak hanya dari sisi lembaga pendanaan, PLN juga sudah memiliki model kerja sama dengan perusahaan swasta.

Sinthya mencontohkan, dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik, PLN menjajaki kerja sama dengan berbagai produsen ternama motor dan mobil. Lalu dengan perusahaan swasta dalam membangun infrastruktur pendukung seperti SPKLU atau charging station.

Kerja sama turut dilakukan dalam penggunaan listrik dari pembangkit energi terbarukan. Contohnya, pada pekan lalu PLN mengumumkan kesepakatan dengan Amazon terkait pasokan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Sinthya menambahkan, PLN juga menyiapkan skema terkait pensiun dini pada sejumlah PLTU. Antara lain dengan spin off ataupun penawaran ke pasar, dengan mempertimbangkan sisi refinancing dan likuiditas perusahaan.

"Ada berbagai aspek yang juga kami harus lihat. Mulai dari kebutuhan dana, aspek sosial, serta simulasi teknikal kapasitas, usia, teknologi, dan demand-supply listrik. Kami lihat berbagai opsi yang bisa dilakukan," terang Sinthya.

Baca Juga: Kementerian ESDM Usulkan PLTU Paiton untuk Dipensiunkan Dini

Sebagai perusahaan penyedia energi, target dekarbonisasi mesti beriringan dengan mengamankan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Hal ini menjadi perhatian Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) A. Salyadi Dariah Saputra.

Menurutnya, prinsip keterjangkauan (affordable) juga menjadi unsur krusial dalam transisi energi. "Kalau yang "green" itu terlalu mahal, konsumsi masyarakat akan tetap ke yang lebih murah. Jadi ketersediaan dan affordable tak bisa diabaikan," ujar Salyadi.

Pertamina pun terus memacu kontribusi dari bahan bakar alternatif, misalnya dengan produksi bioetanol. Kemudian, bersama dengan BUMN lainnya mengembangkan ekosistem kendaraan listrik lewat Indonesia Battery Corporation (IBC).

Sementara itu, Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad mengungkapkan, proyek-proyek hijau akan memiliki Internal Rate of Return (IRR) yang berkelanjutan. "Dalam due diligence SMI memperhatikan ESG-nya. Aspek ini penting dalam kegiatan pembiayaan dan investasi kami," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari