KONTAN.CO.ID -
Transportasi publik punya peran penting dalam menunjang mobilitas masyarakat. Namun, untuk mencapai tujuan itu, perlu ada peningkatan layanan yang membuat pengguna puas. Kepada Wartawan KONTAN Merlinda Riska, CEO PT Transportasi Jakarta Agung Wicaksono memaparkan strateginya meningkatkan layanan TransJakarta lewat strategi kolaborasi. Bulan Oktober 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memanggil saya. Beliau mengatakan, ada tugas besar yang beliau ingin saya lakukan. Tugas besar itu adalah mengintegrasikan transportasi umum di Jakarta dengan menjadi Chief Executive Officer (CEO) PT Transportasi Jakarta (TransJakarta). Saat saya masuk, kinerja TransJakarta sangat baik. Direktur utama sebelumnya, dalam waktu tiga tahun berhasil melipatgandakan jumlah penumpang, rute, dan armada. Jadi, dari segi kinerja keuangan, tidak ada hal fundamental yang perlu dilakukan pembenahan.
Ketika saya masuk ke TransJakarta, aspek sumber daya manusia (SDM) menjadi sentral. TransJakarta punya 9.000 karyawan. Dulu, saya punya 300 karyawan di PT MRT Jakarta. TransJakarta merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang memiliki jumlah karyawan paling banyak. Dari segi penekanan inilah, saya melihat perlu dilakukan terobosan-terobosan di manajemen SDM. Jumlah SDM yang banyak, di satu sisi adalah kekayaan, tapi bisa juga menjadi masalah bila tidak dikelola dengan baik. Soalnya, hampir 80% karyawan bukan lulusan sarjana. Karena itu, saya buat program TransJakarta Cendekia. Kami memberi beasiswa sarjana di Universitas Paramadina untuk lima karyawan berprestasi. Saya juga adakan pelatihan dasar kepemimpinan secara berkala. Saya isi orang yang kompeten untuk mengisi pos jabatan direktur bidang SDM. Amanat dari Gubernur DKI Jakarta tertuang dalam langkah aksi prioritas yang akan saya lakukan. Ada tiga hal yang paling utama dalam langkah aksi prioritas yang bisa membuat TransJakarta sebagai integrator transportasi publik di Jakarta. Pertama, integrasi dengan para operator angkutan umum. Ada sekitar 18 operator angkutan umum di Jakarta. Sebagian besar sudah kolaborasi dan berintegrasi dengan TransJakarta. Metode kolaborasi ini membuat layanan di TransJakarta terdiri dari dua jenis: TransJakarta sebagai operator yang menjalankan armada sendiri, dan TransJakarta sebagai pembeli layanan operator. Target satu juta penumpang TransJakarta harus membayar layanan ke operator. Sebab, operator membeli kendaraannya sendiri, melakukan perawatan, dan menyediakan supirnya. TransJakarta diberikan anggaran
public service obligation (PSO) dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 3,2 triliun. Sebagian dana ini dipakai untuk membayar layanan operator. Kolaborasi ini sudah dijalankan sejak 2016. Namun, saat ini peran operator akan lebih ditingkatkan. Tahun ini, sebanyak 60%-70% dari total armada yang berjumlah sekitar 3.000 armada dijalankan oleh operator. Kalau dulu pengadaan armada lebih dominan dilakukan oleh TransJakarta, maka dengan kolaborasi dan integrasi ini, tentu belanja modal bagi TransJakarta akan berkurang. Namun, metode ini punya tantangan. TransJakarta harus bisa menjadi dirigen untuk para operator, harus melakukan pengecekan dan evaluasi secara berkala kepada para operator agar standar pelayanan minimum (SPM) tetap terjaga. Langkah aksi prioritas kedua adalah mencapai jumlah pelanggan 1 juta per hari. Jumlah penumpang tertinggi tahun lalu mencapai 720.000 per hari. Dan, pada pertengahan Agustus kemarin, jumlah penumpang sudah mencapai 824.000 per hari. Salah satu cara mencapai target, dengan menjangkau 80% dari seluruh warga dan dengan jarak 500 meter. Jadi maksimal orang dalam 500 meter bisa menemukan angkutan umum. Sekarang jangkauan baru 76%. Saya selalu tekankan, target 1 juta penumpang per hari bukan hanya TransJakarta, tapi juga bersama Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rapid Transit (LRT). Sebab, transportasi publik bukan untuk kompetisi tapi untuk kolaborasi. Langkah prioritas ketiga adalah modernisasi digitalisasi. TransJakarta memiliki pola moda transportasi berupa bus rapid transit (BRT) dan non-BRT. Untuk pola BRT, penumpang bus masuk melalui koridor, sedangkan, pola non-BRT, penumpang bus masuk melalui luar koridor atau halte atau dekat papan perhentian bus. Penumpang membayar tiket masuk di pola BRT dengan menempelkan kartu uang elektroniknya di gerbang. Artinya, seluruh pembayarannya sudah cashless. Namun, untuk non-BRT, pembayaran tiket dilakukan di bus. Dalam bus hanya ada satu mesin EDC dari bank. Artinya, bagi penumpang yang kartu elektroniknya berbeda bank dengan mesin EDC harus bayar secara tunai. TransJakarta ingin agar di akhir tahun ini, di seluruh bus non-BRT sudah terpasang alat yang bernama
tap on bus, bukan EDC lagi. Dengan begitu, pembayaran di non-BRT akan sama dengan di BRT. Total armada bus non-BRT kurang lebih ada 800 unit. Sekarang sudah terpasang di 100 armada berupa alat
tap on bus. Agung Wicaksono CEO PT Transportasi Jakarta Rela melepaskan status pegawai negeri Dulu, Agung Wicaksono mengawali karier sebagai seorang dosen berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di almamaternya, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2008. Ia mengajar di SBM ITB untuk mata kuliah manajemen pemasaran dan etika bisnis. Agung memang mempunyai mimpi untuk menjadi seorang pendidik. Namun, secara khusus, ia ingin menjadi pendidik yang kaya pengalaman sebagai praktisi. Untuk itu, ia senantiasa belajar dari seorang mentornya, Kuntoro Mangkusubroto, yang merupakan senior di kampusnya sekaligus pendiri Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB. "Saya banyak belajar dari beliau. Beliau kaya akan pengalaman dengan menyandang berbagai jabatan tinggi baik di perusahaan swasta maupun di pemerintahan," ucap lulusan Teknik Industri ITB ini. Kesempatan yang diimpikan Agung pun terwujud saat Kuntoro ditunjuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2009 menjadi Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Soalnya, Agung lantas diminta oleh Kuntoro untuk menjadi asisten ahli. Di sela-sela menjalani kesibukan sebagai asisten ahli, ia tetap mengajar di ITB. Kemudian, tahun 2014, saat Presiden Joko Widodo alias Jokowi memimpin, UKP4 dihapuskan dan Agung pun kembali mengajar penuh waktu di kampusnya. Namun, jalan hidup untuk menjadi praktisi terbuka kembali untuknya. Agung terpilih menjadi anggota Tim Tata Kelola Migas di Kementrian ESDM. Setelah itu, ia didaulat menjadi Wakil Ketua Tim Program Kelistrikan 35.000 megawatt. Ia mengemban amanat sebagai tim ahli di ESDM sampai tahun 2016. Hanya saja, enggak ada yang bisa menduga jalan hidup seseorang. Saat itu, Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok ingin mendorong agar MRT bisa cepat beroperasi. Pada Oktober tahun 2016, Agung pun terpilih menjadi direktur operasional di MRT.
Sesuai dengan Peraturan Gubernur, seorang direksi di MRT tidak boleh berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Agung pun dengan mantab memutuskan untuk menerima amanat dan melepas status PNS yang selama itu disandangnya. "Hidup harus memilih. MRT ini pertama kali ada di Indonesia. Bagi saya, pilihan itu bukanlah jenjang karier, tapi bentuk pengabdian saya kepada negara," kata Agung yang sekarang menjabat sebagai Direktur Utama Trans Jakarta ini.♦
Merlinda Riska Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi