Tren bunga rendah, instrumen investasi mana yang paling menguntungkan?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca Bank Indonesia (BI) memangkas bunga acuannya menjadi 3,50% tren penurunan bunga deposito perbankan dipastikan terus berlanjut. Meski begitu, deposito perbankan masih diminati nasabah, khususnya nasabah tajir. 

Hal tersebut terbukti di tahun 2020 silam. Kala itu, BI sudah menurunkan suku bunga alias BI 7 Day Reserve Repo Rate (BI7-DRRR) berkali-kali. 

Merujuk pada data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar masih tumbuh tinggi yakni mencapai 14,2% secara year on year (yoy) per Desember 2020. Pertumbuhan serupa juga terjadi di simpanan dengan nominal Rp 1 miliar sampai Rp 2 miliar. 


Padahal, berdasarkan data penawaran bunga deposito yang dihimpun Laporan Harian Bank Umum (LHBU) BI per Selasa (23/2), bunga deposito paling tinggi di bank tercatat hanya sebesar 5,13%. Sedangkan secara rata-rata bunga deposito perbankan hanya di kisaran 4,19% hingga 4,15%.

Bunga tersebut jelas lebih rendah dibandingkan dengan kupon Obligasi Ritel Indonesia seri terbaru yakni ORI019 yang capai 5,57%. Apalagi dibandingkan dengan reksadana saham yang punya return lebih tinggi secara month over month (mom). 

Perencana Keuangan Eko Endarto mengatakan, wajar kalau deposito masih diminati walau bunganya mengempis. Sebabnya, deposito merupakan instrumen investasi yang paling likuid sekaligus punya tenor yang rendah.  "Untuk simpanan atau menabung, instrumen perbankan tidak masalah. Karena kan tujuannya untuk likuiditas dan dana cadangan," kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (24/2). 

Akan tetapi, Eko juga menyarankan untuk simpanan atau investasi yang bersifat jangka panjang, semisal di atas 5 tahun tentu disarankan untuk ditempatkan di instrumen investasi lain. Apalagi, dengan berlanjutnya penurunan suku bunga, pertumbuhan bisnis diharapkan akan bergerak. 

Baca Juga: Laris manis, penjualan ORI019 tembus Rp 26 triliun

Dus, prospek investasi di saham tentu akan menjadi pilihan yang bagus. Termasuk instrumen turunannya, seperti reksadana saham. "Dengan bunga (deposito) turun, obligasi juga bisa naik. Itu bisa menjadi salah satu sarana untuk investasi," imbuh.

Di sisi lain, Eko juga tidak terlalu menyarankan untuk berinvestasi di emas pada saat ini. Sebab, kinerja saham secara umum tengah menggeliat. Hal itu menjadi salah satu tanda harga emas cenderung melemah. 

Apalagi, di tahun 2020 lalu laju pertumbuhan harga emas cukup masif. "Untuk yang sudah punya emas, disarankan untuk dipertahankan. Tapi untuk yang baru, mungkin harus memakan waktu lebih lama untuk dapat keuntungan dibanding tahun-tahun sebelumnya," tegas dia. 

Mengutip Bloomberg, harga emas pun terus terpangkas di tahun ini. Rabu (24/2) pukul 17.30 WIB, harga emas spot berada di level US$ 1.806,38 per ins troi. Ini membuat emas melemah 4,85% secara ytd. 

Setali tiga uang, harga emas berjangka kontrak pengiriman April 2021 kini bertengger di US$ 1.803,70, melemah 5% secara ytd. 

Hal senada juga dilontarkan Perencana Keuangan Safir Senduk. Menurut dia, pergeseran atau pengalihan dana nasabah dari deposito ke produk lain akan terjadi. Hanya saja pergerakannya tidak akan ekstrem lantaran deposito tetap menjadi salah satu pilihan terbaik di masa pandemi.

Di sisi lain, obligasi yang terlanjur terbit sebelum suku bunga acuan BI turun akan jadi instrumen potensial. Sekaligus, Safir menilai hal itu akan membuat reksadana pendapatan tetap menjadi lebih menarik. 

"Saran saya, beli ORI atau reksadana pendapatan tetap," katanya.  Safir juga punya pandangan berbeda untuk emas, menurutnya dengan tren penurunan harga emas yang bergulir saat ini justru menjadi kesempatan untuk membeli emas. 

Selanjutnya: IHSG turun ke 6.251 pada Rabu (24/2), saham TLKM, BBTN, dan BBRI dikoleksi asing

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari