KONTAN.CO.ID - Pembangkit listrik tenaga surya di permukaan perairan waduk menjadi pilihan sumber energi rendah emisi, sekaligus memperkuat Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Cirata. Pembangkit yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada November 2023 itu memiliki luas 250 hektar atau setara dengan 4 persen dari total luas waduk. Sebanyak 343.000 modul panel surya diapungkan di atas waduk yang berkedalaman 100 meter. Kapasitas PLTS terapung itu sebesar 192 megawatt-peak (MWp) dan dialirkan ke sistem kelistrikan Jawa-Bali. ”PLTS Terapung Cirata menjadi kick starter dan trendsetter untuk pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan, ramah lingkungan, dan nol emisi di Tanah Air,” kata Presiden Direktur PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energy (PMSE) Dimas Kaharudin Indra Rupawan di Purwakarta, Jawa Barat, Senin (15/7/2024).
PLTS Terapung Cirata menjadi pembangkit listrik terapung pertama dan terbesar yang beroperasi komersial di Indonesia. Dengan kapasitas 192 MWp atau 145 MWac, PLTS itu mampu memasok listrik setara untuk 50.000 rumah tangga. Bahkan, sejauh ini, kapasitas PLTS terapung itu disebut menjadi yang terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia. Kapasitas PLTS Terapung Cirata hanya kalah dari PLTS Terapung Dezhou Dingzhuang di China dengan kapasitas 320 MW dan PLTS Terapung Omkareshwar di India dengan kapasitas 278 MW. PLTS Terapung Cirata buah kolaborasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA), Masdar. Dari kerja sama itu terbentuk perusahaan patungan, PMSE. Rincian kepemilikan saham adalah 51 persen dimiliki PT PLN Nusantara Power (dulu bernama PT Pembangkitan Jawa Bali/PJB) dan 49 persen sisanya dimiliki Masdar. Nilai investasi PLTS Terapung Cirata mencapai 145 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,2 triliun. Adapun pendanaan dari berbagai pihak, antara lain, kombinasi ekuitas sponsor dan konsorsium bank komersial internasional. Ide awal pembangunan PLTS Terapung Cirata telah diinisiasi sebelum 2020, tetapi pembangunan konstruksi baru dimulai 17 Mei 2021. Sementara operasi komersial dimulai pada Oktober 2023, yang kemudian diresmikan Presiden Jokowi bersama Menteri Perdagangan Luar Negeri UEA Thani bin Ahmed al Zeyoudi pada November 2023.
Kombinasi Dimas menjelaskan, ada beberapa keunggulan pembangunan dan pengoperasian PLTS terapung di atas permukaan air Waduk Cirata. Yang pertama, tidak diperlukan akuisisi lahan tambahan sehingga lebih menghemat biaya pengadaan. Lalu, pengoperasian PLTS terapung di dekat PLTA Cirata yang berkapasitas sekitar 1.000 MW dan telah beroperasi sejak 1988 juga menghadirkan keuntungan. Sebab, kedua pembangkit itu memiliki karakteristik berbeda, tetapi bisa saling mendukung. Saat musim kemarau, produksi listrik PLTA cenderung menurun karena debit air waduk juga ikut surut. Inilah momen paling produktif bagi PLTS terapung, mengingat kemarau adalah waktu saat paparan matahari paling optimal. Sebaliknya, saat musim hujan, produksi listrik PLTS terapung cenderung menurun karena paparan sinar matahari banyak terganti awan mendung dan hujan. Di sisi lain, debit air waduk akan naik sehingga produksi listrik PLTA bisa optimal. ”Jadi, kombinasi keduanya bisa sangat menguntungkan,” ujar Dimas. Keberadaan PLTS Terapung Cirata tak sekadar mendukung sistem kelistrikan Jawa-Bali, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar waduk. PLTS itu menyerap 1.400 tenaga kerja, baik saat konstruksi maupun operasi, yang sebagian besar warga sekitar. Warga juga diberdayakan untuk menjadi pekerja pemeliharaan PLTS terapung. Salah satunya ialah Hamdani (31), warga Desa Citamiang, Kecamatan Maniis, Purwakarta. ”Saya dulu bekerja ikut merakit dan memasang panel surya ini (saat konstruksi) dan sekarang bekerja di bagian pemeliharaan,” ucapnya. Tak lagi dibatasi Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi mengatakan, PLTS terapung ditargetkan berkembang masif seiring turunnya harga komponen modul surya global. Selain mendukung transisi energi, PLTS terapung menjawab tantangan kebutuhan lahan luas dan murah, khususnya di Pulau Jawa. Kendati demikian, PLTS memiliki sifat intermiten atau bergantung pada kondisi cuaca. Dengan demikian, akan selalu diperlukan perencanaan teknis yang matang, dengan mempertimbangkan kesiapan serta keandalan sistem kelistrikan setempat. Saat ini, pemerintah fokus pada pengembangan PLTS terapung pada permukaan genangan waduk serta bendungan. ”Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan serta meraih net zero emission (NZE) lebih cepat dari (target) tahun 2060,” ujarnya. Pada Juli 2023, terbit Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri PUPR No 27/2015 tentang Bendungan. Apabila sebelumnya penggunaan PLTS terapung dibatasi 5 persen dari total luas badan air bendungan, kini tak lagi dibatasi. Namun, penggunaan lebih dari 20 persen memerlukan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan. Keberhasilan pengoperasian PLTS Terapung Cirata, menurut Eniya, mendorong pengembangan jenis energi terbarukan yang sama di lokasi-lokasi lain. Menurut data Direktorat Jenderal EBTKE, sudah ada puluhan lokasi yang masuk dalam rencana pembangunan PLTS terapung selanjutnya, dengan tambahan kapasitas total sekitar 2.000 MW.
Sementara itu, peneliti sekaligus pemerhati energi terbarukan dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Yuli Setyo Indartono, menyebutkan, selain mudah soal pengadaan lahan, PLTS terapung juga terhindar dari bayangan benda-benda seperti pohon dan gunung sebagaimana terjadi pada PLTS di tanah. Pendinginan panel surya PLTS di atas air juga lebih baik sehingga menghasilkan listrik lebih optimal. Adapun tantangan pengembangan PLTS terapung ke depan berkaitan dengan teknologi. ”Floater (pelampung untuk PLTS) yang digunakan kini, dengan bahan baku plastik HDPE (high density polyethylene), setahu saya masih dibuat oleh perusahaan dari luar negeri. Perlu ada skema agar ada kemitraan dengan perusahaan lokal sehingga tak terus bergantung dengan teknologi luar negeri. Penting bagaimana NZE dicapai dengan penguasaan teknologi,” tutur Yuli. Begitu juga pada panel surya atau solar photovoltaic (PV) pada PLTS. ”Panel surya itu ada bagian kaca (glass), sel surya atau inti, akrilik, dan lainnya. Bagian sel surya ini yang kita masih impor. Di Indonesia masih dalam tahap merakit (panel surya) sehingga begitu ada proyek-proyek besar, digunakan produk-produk impor. Kalau digunakan dari dalam negeri, akan tinggi biayanya serta akan ikut memengaruhi harga jual listriknya,” ucapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal