Tren penggunaan energi global menunjukkan, energi terbarukan berkembang cukup pesat. Menurut data BP Statistical Review, pada periode 2007–2017, penggunaan energi terbarukan meningkat 7,1% (CAGR) dari 709,2 juta ton setara barel minyak (sbm) menjadi sekitar 1,41 miliar ton sbm. Pertumbuhan penggunaan energi terbarukan jauh di atas pertumbuhan penggunaan energi global secara keseluruhan sebesar 1,99%. Jika dibedah lebih dalam, region Asia Pasifik meningkat cukup tinggi dalam penggunaan energi terbarukan. Selama 2007–2017, penggunaan energi terbarukan naik 10,9% (CAGR) dari 194 juta ton sbm menjadi 546,7 juta ton sbm di Asia Pasifik. Hal ini menunjukkan peningkatan peran energi terbarukan dalam menopang pemenuhan kebutuhan energi global dan Asia Pasifik kian besar.
Indonesia juga mengikuti tren yang sama dalam penggunaan energi terbarukan. Penggunaan energi terbarukan Indonesia naik 13,5% (CAGR) dari 2 juta ton sbm menjadi 7,1 juta ton sbm pada periode 2007–2017. Namun, hal yang perlu menjadi perhatian adalah peran energi terbarukan di level global sudah cukup besar dibandingkan di Indonesia. Tahun 2017, peran energi terbarukan dalam bauran energi di tingkat global telah mencapai 12,6%. Begitu pula di Asia Pasifik yang telah mencapai 9,5% dari total konsumsi energi. Sedangkan Indonesia, tahun 2017 baru mencapai 4,1% dari total energi yang dikonsumsi berasal dari energi terbarukan. Indonesia masih terlalu besar mengandalkan energi fosil seperti bahan bakar minyak (BBM), batubara dan gas dalam memenuhi kebutuhan energi. Sebenarnya, potensi energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan di Indonesia sangat besar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan yang dapat digunakan sebagai energi untuk pembangkit listrik mencapai 441,7 GW yang terdiri dari tenaga air 94,3 GW, tenaga surya 207,8 GW, tenaga angin (bayu) 60,6 GW, bioenergi 32,6 GW, tenaga air laut 17,9 GW dan panas bumi 28,5 GW. Namun, utilitas energi terbarukan masih relatif kecil dibandingkan potensinya. Data Kementerian ESDM menunjukkan pembangkit yang menggunakan energi terbarukan pada 2017 hanya sebesar 7,3 GW atau 1,7% dari total potensi yang ada. Aspek permodalan masih jadi hambatan utama pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Saat ini investasi pembangunan pembangkit energi terbarukan cenderung lebih mahal dibandingkan energi konvensional seperti BBM, batubara maupun gas. Padahal pemerintah berkepentingan menjaga agar tarif listrik tetap rendah sehingga pemerintah masih mensubsidi sebagian pelanggan PLN. Akibatnya, pemerintah menetapkan peraturan tarif pembelian oleh PLN untuk pembangkit listrik dari energi terbarukan yang cenderung kurang menarik bagi investor agar jumlah subsidi dari pemerintah tak terlalu besar. Dengan kata lain, biaya pembangkit listrik energi terbarukan harus bersaing secara langsung dengan pembangkit listrik konvensional seperti batubara, BBM dan gas. Energi terbarukan juga harus berkontribusi terhadap pengurangan biaya produksi listrik PLN di seluruh Indonesia. Padahal pemanfaatan energi terbarukan sebagai pembangkit listrik tak bisa dihitung hanya dari biaya investasinya saja. Pemerintah juga harus menghitung eksternalitas positif dari penggunaan energi terbarukan sebagai pembangkit energi. Sebagai contoh, minimnya polusi yang dihasilkan pembangkit berbasis energi terbarukan. Selain itu, energi terbarukan selalu tersedia dalam jangka panjang, tidak seperti energi fosil yang akan habis dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, perlu bersama-sama kita sadari bahwa karakteristik utama pembangkit listrik terbarukan adalah investasi awal yang relatif besar. Namun harap dicatat bahwa biaya variabel minimal seperti tidak adanya biaya bahan bakar di masa depan. Tren di tingkat global yang mengutamakan pembangunan pembangkit energi terbarukan saat ini tentu akan berdampak pada biaya energi yang lebih murah di tingkat global dalam jangka panjang.
Tentu kita tidak mau mengulangi kesalahan seperti dahulu, dimana Indonesia masih bergantung pada energi berbasis BBM, padahal di negara kawasan seperti China dan India sudah beralih ke batubara yang relatif lebih murah. Akibatnya, industri manufaktur di Indonesia memiliki biaya energi yang lebih tinggi dibandingkan China dan India. Faktor ini mengurangi daya saing produk industri manufaktur Indonesia.♦
Adjie Harisandi Analis Industri Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi