KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak dunia seakan belum kehabisan tenaga untuk melaju kencang. Penguatan harga minyak justru diprediksi akan terus berlanjut di tengah gejolak geopolitik. Imbasnya, harga saham emiten-emiten di sektor minyak dan gas pun berpotensi terus terkerek. Sejak awal tahun, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Juni 2018 di New York Mercantile Exchange telah mencatat kenaikan 17,7% ke level US$ 70,7 per barel hingga penutupan perdagangan Jumat (11/5). Ini merupakan level tertinggi harga minyak sejak Desember 2014. Tren penguatan harga minyak juga turut mendongrak harga saham-saham emiten migas. Tengok saja, sejak awal tahun harga saham MEDC sudah mendulang kenaikan 38,8% ke level Rp 1.235. Harga saham ELSA juga terus bergerak naik sebesar 15,6%
year to date (ytd) ke level Rp 430. Saham ENRG melonjak paling tinggi dengan kenaikan 118% ytd ke level Rp 194 per saham.
Analis Samuel Sekuritas Arandi Ariantara, menilai, harga minyak yang mengalami reli belakangan ini disokong oleh banyaknya isu geopolitik. Yang teranyar, ialah rencana Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan kembali sanksi atas Iran yang berpotensi mengganggu keseimbangan suplai minyak di pasar global ke depan. Namun, menurut Arandi, isu geopolitik hanya sentimen sementara. "Sifatnya masih noise saja karena masih belum diimplementasikan. Harus kembali lagi lihat fundamental," ujar Arandi, Jumat (11/5). Menurutnya, secara fundamental permintaan dunia terhadap minyak masih cukup tinggi. Tengok saja di AS, data inventori minyaknya dirilis turun hingga 2,2 juta barel pada pekan lalu yang mengindikasikan banyaknya kebutuhan. Begitu pun di China, EIA memprediksi konsumsi minyak China akan tumbuh menjadi 13,7 juta barel per hari di akhir tahun nanti. "Impor minyak China akan naik seiring peralihan dari
export-oriented menjadi
consumer-oriented dalam industrinya. China berpeluang menjadi titik sentral perdagangan minyak dalam tahun mendatang," tutur Arandi. Secara global, pertumbuhan ekonomi juga diprediksi akan terus meningkat. IMF bahkan menaikkan prediksi pertumbuhan global sebesar 0,2% menjadi 3,9% untuk tahun 2018. Arief Budiman, analis Ciptadana Sekuritas Asia, melihat hal ini merupakan salah satu faktor permintaan minyak tetap stabil. Disamping itu, "harga minyak dunia juga masih akan terjaga lantaran rencana Saudi Aramco untuk melaksanakan IPO," jelasnya, Jumat (11/5). Untuk itu, Arief masih mempertahankan
outlook positif bagi sektor minyak dan gas sepanjang tahun ini. Laju harga minyak tentu akan berpengaruh pada emiten-emiten yang berkecimpung di sektor ini. Naiknya harga minyak dunia, tentu akan turut mengerek harga jual rata-rata hasil produksi emiten. Sebut saja MEDC, yang menjadikan harga minyak Brent sebagai acuan. Arief menjelaskan, harga jual rata-rata minyak MEDC biasanya terdiskon US$ 2 sampai US$ 3 per barel dari harga minyak Brent. Sepanjang kuartal I-2018, harga jual rata-rata minyak MEDC mencapai US$ 63 per barel. Saat ini, harga minyak Brent telah menembus US$ 77 per barel. "Artinya, masih ada potensi upside untuk harga jual minyak MEDC di tengah kondisi naiknya harga sekarang ini," ujar Arief. Research Analyst MNC Sekuritas Muhamad Rudy Setiawan, sepakat, momentum harga minyak saat ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para emiten. Apalagi, ia optimistis tren geopolitik yang menyelimuti harga minyak masih akan terus berlangsung hingga akhir tahun. "Cadangan yang sebelumnya ditahan karena penurunan harga global, saat ini dapat didistribusikan secara penuh di saat momentum kenaikan harga yang cukup kuat ini," ujar Rudy, Jumat (11/5). Rudy menilai, saham MEDC dan ELSA menjadi yang cukup menarik di tengah tren saat ini. Hal ini di sebabkan MEDC yang memiliki sumur-sumur minyak yang masih mampu dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan pendapatan. Kuartal-I 2018, pendapatan MEDC meningkat 35.85% yoy “Sementara, ELSA saat ini mulai berekspansi dengan seismic laut yang digunakan untuk wilayah blok Mahakam,” ujar Rudy. ELSA juga telah mengantongi nilai kontrak sebesar Rp 4,5 triliun. Kendati demikian, Rudy tetap menjagokan MEDC lantaran valuasinya yang menarik. Ia memberi rekomendasi beli saham MEDC dengan target harga Rp 1.830 per saham.
Saham MEDC juga menjadi pilihan Arief saat ini. Ditilik dari valuasinya, harga MEDC saat ini masih rasional dengan EV/EBITDA sebesar 7,3 kali. “Rata-rata sektornya sekitar 8,5 kali, jadi masih oke,” pungkasnya. Selain itu, aksi korporasi MEDC dengan menerbitkan 1,77 miliar saham baru untuk private placement, dinilai Arief, dapat menjadi katalis positif bagi kinerja keuangan emiten. Ia memberi rekomendasi beli dengan target harga Rp 2.080 per saham. Senada, Arandi juga masih mempertahankan MEDC sebagai saham top pick untuk sektor migas. Meskipun, produksi MEDC sepanjang kuartal pertama hanya 86.000 barel per hari, lebih rendah dari estimasinya sebesar 94.000 barel per hari untuk rata-rata setahun. Ia merekomendasikan beli MEDC dengan target harga Rp 2.000 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi