Tren Penggunaan Energi Terbarukan di Indonesia Tertekan Pembangkit Fosil



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan laporan dari lembaga think tank global, EMBER bertajuk Global Electricity Review 2023 mengemukakan pertumbuhan porsi energi terbarukan di dunia seperti tenaga surya dan angin terus mengalami kenaikan pada 2021. Namun hal ini tidak terjadi di Indonesia di mana penggunaan energi bersih masih tertekan penggunaan pembangkit fosil yang masif. 

Laporan EMBER menunjukkan, porsi tenaga angin dan surya di Indonesia masing-masing hanya 0,1% pada 2021. Padahal, tercatat sudah ada 60 negara di dunia yang 10% dari total pembangkit listriknya ditenagai angin dan surya.

Pertumbuhan tenaga surya Indonesia pada 2021 mencapai 12%, namun angka ini hanya setara 0,02 TWh lantaran rendahnya pembangkit energi surya. Sementara tenaga angin justru turun 6,4% atau 0,03 TWh. Pada saat yang sama, pembangkit listrik dari batu bara di Indonesia masih naik 5% (9,1 TWh) dan gas 9,7% (5 TWh).


Baca Juga: Simak Prospek Geotermal dalam Pengembangan EBT

Penulis laporan EMBER Global Electricity Review 2023, Malgorzata Wiatros-Motyka menuturkan, meski kemajuan perkembangan energi terbarukan di Indonesia lambat dalam beberapa tahun terakhir, dukungan internasional menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakselerasi adopsi energi terbarukan dan menghentikan pembangkit listrik berbasis batu bara di Indonesia. 

Beberapa pendanaan tersebut di antaranya, Asian Development Bank Energy Transition Mechanism dan Just Energy Transition Partnership.

“Dengan bantuan tersebut, sudah saatnya Indonesia menunjukkan komitmen dan mengambil langkah-langkah untuk mencapai puncak emisi tahun 2030 dan mewujudkan ambisi energi terbarukan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (14/4). 

Wiatros-Motyka menyatakan, saat ini dunia sedang berada di dekade penentuan untuk masa depan iklim dan ini merupakan titik awal berakhirnya era bahan bakar fosil. 

Di dunia, penggunaan pembangkit listrik tenaga surya tumbuh hingga 24% atau setara penambahan 245 terawatt hour (TWh) pada 2022. Sementara tenaga angin naik 17% atau 312 TWh. Kenaikan kapasitas pembangkitan listrik surya dan angin tersebut mampu memenuhi 80% permintaan listrik global. 

Kenaikan pembangkit tersebut juga membatasi pertumbuhan tenaga batu bara menjadi hanya 1,1% atau setara 108 TWh. Di sisi lain, pembangkit berbahan bakar gas turun tipis 0,2% atau 12,3 TWh.

Pada 2023, energi bersih diperkirakan akan memenuhi semua peningkatan permintaan listrik. Dengan demikian, pembangkit listrik berbahan bakar fosil akan menurun sedikit (-0,3%) pada 2023, dan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya seiring meningkatnya tenaga angin dan surya.

Wiatros-Motyka menyatakan, tenaga angin dan surya sudah siap untuk terus berkembang pesat menjadi sumber listrik yang terbesar. Listrik bersih akan membentuk ulang perekonomian global, dari sektor transportasi, industri, dan seterusnya.

Era baru penurunan emisi bahan bakar fosil menunjukkan bahwa penghentian pembangkit listrik batu bara akan terjadi, dan berakhirnya listrik berbasis gas sudah di depan mata. 

Baca Juga: ESDM: Kenaikan Harga Sel Surya Global Tak Lagi Jadi Isu Proyek PLTS Terapung Cirata

“Perubahan datang dengan cepat. Namun, semuanya tergantung pada langkah yang diambil oleh pemerintah, bisnis, dan masyarakat hari ini untuk mengarahkan dunia ke listrik bersih pada tahun 2040,” ujarnya. 

Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus Sari menambahkan sistem ketenagalistrikan berbasis bahan bakar fosil sedang menghadapi risiko penelantaran aset besar-besaran. Energi bersih jauh lebih murah dan lebih stabil.

“Dengan krisis iklim saat ini, maka transisi energi adalah keniscayaan. Mereka yang tidak ikut bertransisi akan semakin tertinggal,” ujarnya. 

Analisis EMBER menunjukkan, komitmen JETP yang membatasi emisi sektor kelistrikan pada 290 juta ton CO2 konsisten dengan Announced Pledge Scenario yang disusun IEA dan sesuai dengan target pemerintah mencapai netral emisi karbon di semua sektor pada 2060. Namun, batasan tersebut masih di bawah jalur netral karbon yang lebih ambisius dari IEA.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .